BERITACIANJUR.COM – PERNYATAAN Bupati Cianjur, Herman Suherman yang menyebutkan pencairan bantuan tahap 3 dan 4 terhambat karena Cianjur tidak kondusif alias dikarenakan adanya unjuk rasa, masih terus menuai kritik.
Seperti diketahui, statement Herman tersebut disampaikan saat dirinya melakukan kunjungan ke Desa Rancagoong Kecamatan Cilaku beberapa waktu lalu. Bahkan Aliansi Masyarakat Cianjur Menggugat (AMCM) melaporkan Herman ke Mabes Polri dengan tuduhan penyebaran hoax, penghasutan dan provokasi terhadap masyarakat.
Benarkah pencairan bantuan terhambat gara-gara pendemo? Senin (13/3/2023) pagi, beritacianjur.com mencoba mengonfirmasi hal tersebut ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, termasuk terkait bantuan dana tunggu hunian (DTH) yang anggarannya sudah masuk ke BPBD Cianjur sejak 30 Desember 2022, namun baru cair 21 Februari 2023 untuk 3.957 korban gempa.
Kenapa butuh sekitar 2 bulan untuk mencairkan DTH tersebut? Plt Kepala BPBD Cianjur, Didin Awaludin yang didampingi Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Nurzaini menyebutkan, keterlambatan pencairan tersebut disebabkan data penerima bantuan saat tahap 1 dan 2 masih simpang siur dan masih proses verifikasi.
“Ditambah pada tahap 2 itu ada perubahan SK Bupati, ada 400 lebih dobel NIK dan akhirnya verifikasi bersama-sama. Sebenarnya anggaran dari pusat sudah masuk ke kita 30 Desember 2022, namun datanya masih simpang siur dan masih ada verifikasi. Untuk tahap 1, pada 21 Februari 2023 sudah masuk ke rekening penerima sebanyak 3.957 orang untuk DTH Januari. Pada Sabtu dan mungkin hari ini juga sudah ada yang mengambil,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Senin (13/3/2023).
Terkait sosialisasi pencairan DTH, sambung dia, pihak Bank Mandiri sudah memberitahukan hal tersebut kepada para camat, selanjutnya para camat memberitahukan kepada para desa hingga akhirnya disosialisasikan kepada penerima DTH.
Menanggapi hal tersebut, Asep Toha dari Tim Kajian Surya Bintang Centre menerangkan, jika mengacu pada Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2020 dan Perka BNPB Nomor 6 Tahun 2008, DTH merupakan dana yang diberikan kepada korban bencana dengan kategori rumah rusak berat yang digunakan untuk mencari tempat tinggal sementara, selagi menunggu hunian tetap atau rumahnya selesai dibangun.
“Maka, pemberian DTH itu seharusnya dicairkan sejak terjadinya bencana yang besarannya Rp500 ribu per bulan selama 3 bulan, sehingga totalnya Rp1.500.000 per KK. Sebab tujuannya menunggu hunian tetap,” jelas pria yang karib disapa Asto.
Asto menegaskan, ketika pencairan DTH secara bertahap, maka muncul pertanyaan bagaimana mengklasifikasikan skala prioritas penerimanya? Sebab, sambung dia, DTH berbeda dengan bantuan stimulan rumah.
“Jika ada tahapan seperti yang dilaksanakan sekarang, itu artinya menyamakan antara DTH dengan bantuan stimulan rumah rusak. Jadi DTH segharusnya diberikan sekaligus. Ini malah terlambat dan baru cair yang bulan Januari saja,” ungkapnya.
Ia memaparkan, jika membuka data yang disampaikan Bupati Cianjur ke BNPB pada 14 Januari 2022, total rumah rusak berat tahap 1, 2 dan 3 sebanyak 15.464 rumah rusak berat. Artinya sebanyak itulah yang berhak mendapatkan DTH. Pasalnya sasaran dari dana ini adalah mereka yang rumahnya rusak berat seperti diamanatkan Peraturan BNPB nomor 4 tahun 2020 tentang penggunanaan Dana Siap Pakai, dan Peraturan BNPB Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai.
Selanjutnya, lanjut Asto, jika kemudian pihak Pemkab Cianjur baru membuka tahap 1 saja yakni pada 21 Februari 2023 sebanyak 3.957 KK penerima DTH, artinya ada 11,507 KK lagi yang harus mendapatkan haknya.
“Data ini saya ambil dari yang disampaikan Bupati ke BNPB pada tanggal 14 Januari 2023. Total yang disampaikan Bupati yaitu 71.898 KK termasuk di dalamnya rusak ringan, sedang dan berat,” katanya.
Tak hanya itu, masih dari data Bupati Cianjur, Asto menyebutkan, rumah rusak berat yang masuk ke tahap I dan tahap II itu totalnya berjumlah 4.463 rumah. Jika baru tersalurkan sebanyak 3.957 KK, artinya terdapat 506 KK yang statusnya berubah dari rusak berat ke rusak sedang atau ringan.
“Sementara Pemkab Cianjur menyebut 400 lebih yang terverifikasi NIK-nya sama. Pertanyaannya, yang benar yang mana, apakah 400 KK atau 506 KK? Kemudian Pemkab Cianjur juga tidak menyebutkan kapan realisasi yang lainnya. Ini yang penting, sebab DTH itu ada batas waktunya yaitu selama 3 bulan. Jika ternyata perbaikan rumah rusak berat itu lebih dari 3 bulan bagaimana? Ini harus dipikirkan solusinya,” paparnya.
Ia menegaskan, benar bahwa penerima harus sudah selesai di wilayah verifikasinya, namun pencairan DTH dari BNPB ke BPBD itu berdasarkan data By Name By Adress (BNBA) yang diajukan oleh Pemkab Cianjur secara total.
“Itulah kenapa muncul jumlah total bantuan tersebut. Maka pertanyaanya, kenapa ada konsep tahapan? Apakah karena pencairannya bertahap atau memang pencairan yang dilakukan BPBD ini bertahap? Kemudian terkait keterlambatan proses verifikasi, kita tahu bahwa Kemen PUPR sejak 24 November 2021 telah menerjunkan tim verifikasi, sepertinya waktu 2 bulan untuk verifikasi itu terlalu lama, sebab yang diverifikasi hanya rumah rusak berat saja, tinggal bagaimana pengorganisasiannya saja sebenarnya,” jelasnya.
Sementara itu, salah satu Koordinator Aksi AMCM, Galih Widyaswara menilai, penjelasan BPBD Cianjur terkait keterlambatan pencairan DTH yang disebabkan data yang masih simpang siur, secara telak menunjukkan bahwa statement Bupati Cianjur yang menyalahkan pendemo merupakan informasi hoax dan provokatif.
“Jadi intinya, keterlambatan ini disebabkan buruknya kinerja Pemkab Cianjur. Masa iya memverifikasi saja tidak becus. Kinerja buruk malah menyalahkan pihak lain. Ini hak para korban, seharusnya bisa segera dituntaskan,” pungkasnya.(gie)