Beritacianjur.com – PUSAT Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC) meminta aparat penegak hukum (APH) untuk segera mengawasi penyaluran dan penggunaan dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Cianjur, yang rawan disalahgunakan.
Direktur CRC, Anton Ramadhan menegaskan, pernyataan atau analisis yang menyebutkan rawan disalahgunakan bukan tanpa alasan. Namun berawal dari adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Jabar, yang menyebutkan penggunaan dana kapitasi di Cianjur pada tahun 2014 dan 2015 tidak tertib dan adanya pelanggaran aturan.
Tak hanya itu, ia juga merasa heran, meski dana kapitasi JKN relatif besar, namun fakta di lapangan masih banyak masyarakat yang mengeluhkan pelayanan kesehatan Cianjur, sekalipun memiliki BPJS Kesehatan.
“Analisis kami ini bukan tanpa alasan, tapi semuanya berangkat dari temuan BPK dan adanya keluhan masyarakat. Dana kesehatan begitu besar, namun ternyata fakta di lapangan masih banyak masyarakat yang mengeluh,” ujarnya kepada Beritacianjur.com, Senin (2/12/2019).
Alhasil, terkait permintaannya terhadap APH untuk mengawasi penyaluran dan penggunaan dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Cianjur, Anton tak hanya menyoroti untuk tahun anggaran 2019 dan 2020, namun juga harus mengusut tuntas tentang temuan BPK tahun 2014 dan 2015.
“Saya memang mengindikasikan adanya kerawanan penyalahgunaan dana kapitasi JKN 2019 dan 2020, namun aparat juga harus mengusut temuan BPK 2014 dan 2015. Bagaimana kelanjutan temuan BPK tersebut? Penyelesaiannya belum jelas karena tidak ada transparansi atau sosialisasi dari pihak Pemkab Cianjur,” ungkapnya.
Mengenai tahun anggaran 2020, Anton menegaskan, pada saat penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 yang berlangsung belum lama ini, seharusnya pihak Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur tak hanya harus memberikan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD Dinkes dan RKA 45 puskesmas (BLUD) saja, namun juga harus memberikan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) 45 puskesmas.
“Janggalnya, saat rapat di DPRD, Dinkes hanya memberikan dokumen RKA Dinkes saja, tanpa memberikan RKA dan RBA 45 puskesmas. Jadi, untuk memudahkan dalam pengawasan dan pemeriksaan, aparat penegak hukum bisa meminta RKA dan RBA 45 puskesmas,” terangnya.
“Soal harus memberikan RBA 45 Puskesmas, itu sesuai dengan Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD),” sambung Anton.
Anton menerangkan, pada Pasal 62 ayat 1 disebutkan, RBA dintegrasikan/dikonsolidasikan dan merupakan kesatuan dari RKA. Ayat 2, RKA beserta RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disanrpaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Pasal 63 ayat 1 menyebutkan, PPKD menyampaikan RKA beserta RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 kepada tim anggaran pemerintah daerah untuk dilakukan penelaahan. Ayat 2, hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain digunakan sebagai dasar pertimbangan alokasi dana APBD untuk BLUD.
Sementara pada Pasal 64 ayat 1, tim anggaran pemerintah daerah menyampaikan kembali RKA beserta RBA yang telah dilakukan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) kepada PPKD untuk dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah tentang APBD yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan Daerah tentang APBD. Ayat 2, tahapan dan jadwal proses penyusunan dan penetapan RBA mengikuti tahapan dan jadwal proses penyusunan dan penetapan APBD.
“Selanjutnya pada ayat 3 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan, perubahan RBA BLUD diatur dengan Peraturan Kepala Daerah,” sebutnya.
Tak sampai di sana, Anton juga menyampaikan, pada Pasal 105 ayat 1 disebutkan, pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Daerah yarg telah diundangkan sebelum berlakunya Peraturan menteri ini, masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Ayat 2, pada saat Peraruran Menteri ini mulai berlaku BLUD yang teiah ditetapkan dan peraturan Kepala Daerah vang telah diundangkan sebelum berlakunya peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan paling lama 2 (dua) tahun setelah Peraturan Menteri ini diundangkan.
“Lalu pada ayat 3, penyusunan dan penetapan RBA untuk tahun anggaran 2O2O dan seterusnya sesuai dengan peraturan Menteri ini,” tutupnya.
Sebelumnya, terkait indikasi penyalahgunaan dana kapitasi tahun anggaran 2019 dan 2020, Anton mensinyalir tidak hanya melibatkan birokrasi menengah bawah (Kepala Puskesmas dan Bendahara), akan tetapi juga melibatkan pejabat Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur seperti kepala dinas, sekretaris, bendahara dan kepala bidang,“ ujarnya.
Tak hanya itu, Anton juga mengklaim menemukan adanya indikasi keterlibatan pihak lain, yaitu kepala daerah dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dalam pusaran dugaan korupsi dana kapitasi tersebut.
Salah satu indikasi adanya dugaan penyelewengan dana kapitasi JKN tersebut, sambung Anton, terlihat pada saat penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 yang berlangsung belum lama ini, yakni pada saat pembahasan anggaran antara anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD dengan pihak eksekutif yang dipimpin Sekertaris Daerah dan dihadiri oleh Kepala SKPD.
Pada saat pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD Dinas Kesehatan, Anton menjelaskan, dinas yang dipimpin Tresna Gumilar hanya memberikan Dokumen RKA Dinas Kesehatan saja tanpa dilengkapi dengan dokumen RKA 45 puskesmas (BLUD). Saat ditanya oleh Banggar DPRD, Tresna berdalih dokumen RKA 45 puskesmas belum selesai.
“Tidak diberikannya dokumen RKA 45 puskesmas kepada banggar ini merupakan persoalan serius, bahkan menurut saya merupakan kesalahan fatal. Seharusnya banggar tidak meloloskan begitu saja RAPBD 2020 sebelum eksekutif melengkapi dokumen RKA 45 puskesmas. Tapi saya bisa memahami situasi rekan-rekan banggar yang hanya diberikan waktu 1 minggu untuk membahas RAPBD 2020, dengan waktu yang begitu sempit tentunya sulit untuk lebih teliti,” jelasnya.
Saat ditanya seberapa pentingnya Dokumen RKA 45 puskesmas diberikan dan dibahas oleh Banggar DPRD, Anton menjelaskan, RKA 45 puskesmas nantinya akan dijadikan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang di dalamnya terdapat anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang nilainya ratusan miliar.
Sebagai pembanding, lanjut Anton, pada Tahun Anggaran 2019 anggaran untuk 45 puskesmas (BLUD) tersebut jumlahnya mencapai Rp 145.429.844.411 di mana sebagian besar anggaran tersebut adalah alokasi dana Jaminan Kesehatan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang merupakan warga tidak mampu.
Selain menerima alokasi anggaran JKN, puskesmas juga menerima anggaran BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Nonfisik bidang kesehatan.
Menurutnya, sesuai dengan Perpres No. 32 Tahun 2014 dan Permenkes No. 12 Tahun 2016, dana kapitasi yang diperoleh puskesmas digunakan untuk dua kelompok yakni, Jasa Pelayanan (Medis dan Non MEdis) dan Biaya Operasional. Persentase pembagian jasa dan biaya operasional medis sekurang-kurangnya 60 persen untuk Jaspel dan 40 persen untuk belanja operasional.
“Alokasi dana kapitasi untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan dimanfaatkan untuk obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang pengadaannya dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehatan, dengan mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah,“ bebernya.
“Tak hanya itu, dana kapitasi juga dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya yang meliputi upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative lainnya, kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan, operasional untuk puskesmas keliling. bahan cetak atau alat tulis kantor, dan/atau administrasi keuangan dan sistem informasi,“ pungkasnya.(gie)