Beritacianjur.com – DINAS Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Holtikultura Cianjur terus menjadi sorotan publik. Pasalnya, dugaan mark up dan kejanggalan pada pelaksanaan pencetakan sawah baru di Cianjur semakin menguat. Benarkah?
Ya, setelah sebelumnya dinilai melanggar pedoman teknis dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, karena melakukan pencetakan sawah baru dengan menghabiskan anggaran Rp23 juta per hektar, kini Direktur Pusat Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan, menguak sejumlah dugaan mark up dan kejanggalan lainnya yang dilakukan Dinas Pertanian Cianjur.
“Soal kemarin yang menggunakan Rp23 juta per hektar padahal menurut pedoman teknisnya hanya Rp16 per hektar untuk cetak sawah baru saja sudah janggal, sekarang masih banyak lagi sejumlah kejanggalan lainnya. Bahkan dugaan mark up-nya lebih besar,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Selasa (21/1/2020).
Ia memaparkan, pada tahun anggaran 2019, Dinas Pertanian Cianjur melaksanakan kegiatan pencetakan sawah baru dengan anggaran Rp2 M. Dari Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) 2019, diketahui jika kegiatan sawah baru tersebut output-nya menambah lahan sawah baru seluar 15 hektar.
Ia menyebutkan, lokasi perluasan sawah barunya di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara. Anggaran perluasan sawah baru Rp2 M tersebut digunakan untuk perluasan/pencetakan sawah baru seluas 15 hektar Rp345 juta, kegiatan bintek perluasan sawah baru Rp174.374.000, jasa konsultan senilai Rp12 juta, workshop Rp42 juta, pengadaan pupuk sarana perluasan sawah baru Rp126 juta. Alhasil, biaya keseluruhan yang dihabiskan hanya Rp699.374.000.
“Anggarannya Rp2 M tapi yang dihabiskan hanya Rp699.374.000. Pertanyaannya, ke mana sisa dana sebesar Rp1.300.626.000?” tegasnya.
Tak hanya itu, Anton juga menyebutkan kejanggalan lainnya terkait adanya mark up atau adanya perbedaan standar biaya cetak sawah yang ditentukan Dinas Pertanian.
Pada 2018 untuk luas 60 hektar sawah, sambung dia, Dinas Pertanian menganggarkan biaya perluasan sawah baru sebesar Rp1.620.000.000. Alhasil untuk per hektarnya sebesar Rp27 juta. Berbeda dengan yang terjadi pada 2019. Untuk luas 15 hektar Dinas Pertanian mengalokasikan dana sebesar Rp345 juta. Alhasil biaya perluasan sawahnya Rp23 juta.
“Kenapa anggarannya bisa beda? Ini kan sangat janggal dan dugaan mark up-nya sangat kuat. Belum lagi jika kita melihat pedoman teknis atau juknis yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, yakni biaya pencetakan/perluasan sawah baru itu paling tingginya senilai Rp16 juta per hektar untuk di Pulau Jawa. Ini kok dinas bisa seenak jidat seperti ini,” ungkapnya.
Sementara itu, saat hendak mengonfirmasi langsung, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Holtikultura Cianjur, Mamad Nano tengah tidak berada di kantornya.
Diberitakan sebelumnya, kejanggalan terjadi pada pelaksanaan pencetakan sawah baru di Cianjur. Meski sudah terbit Perbup Nomor 36 Tahun 2018, namun Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Holtikultura Cianjur masih mengacu pada Perbup sebelumnya, yakni Perbup Nomor 31 Tahun 2011. Kok bisa?
Ya, pada tahun 2019, Dinas Pertanian melakukan pencetakan sawah baru dengan menghabiskan anggaran Rp23 juta per hektar. Padahal pada Perbup Nomor 36 Tahun 2018 tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pelaksanaan Pencetakan Sawah Baru, tidak dicantumkan biaya per hektarnya.
Kejanggalan atau dugaan adanya mark up terlihat dari Pedoman Teknis Perluasan Sawah Pola Swakelola Tahun 2017, dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2017, yang memberlakukan pagu anggaran maksimal untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebesar Rp16 juta per hektar.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Cianjur, Dandan Hendayana membenarkan, pemberlakukan Rp23 juta per hektar tersebut karena mengacu pada Perbup No 31 Tahun 2011.
Ketika disebutkan bahwa Perbup tersebut sudah tak berlaku karena muncul Perbup baru, Dandan menegaskan, sebelumnya pihaknya sudah berkonsultasi dengan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Cianjur.
“Kita sudah konsultasi ke Bawasda karena memang usulan kegiatan cetak sawah baru 2019 sudah masuk dalam renstra. Kemudian kita juga sudah usulkan untuk dimasukkan ke dalam standar baku. Dalam e-budgeting juga ada,” ujar Dandan kepada beritacianjur.com belum lama ini.
Terkait standar harga APBN atau pedoman teknis yang hanya Rp16 juta per hektar, Dandan menilai standarnya terlalu low cost dan memutuskan menggunakan referensi Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) cetak sawah 2018 yang menggunakan harga Rp23 juta per hektar.
“Iya Pak, APBN itu terlalu low cost. Intinya, kita gunakan Rp23 juta per hektar itu karena rujukan harga satuan untuk cetak sawah sangat minim,” ucapnya.
Meski Dandan menilai jika standar APBN sangat rendah, namun ia menyebutkan pencetakan sawah baru dari APBN yang menggunakan standar harga Rp16 juta per hektar sudah rampung sesuai dengan target.
Kejanggalan lainnya terlihat juga dari Perbup sebelumnya, yakni tahun 2011 yang menjadi acuan Dinas Pertanian dalam penetapan harga pencetakan sawah baru. Ternyata, harga Rp23 juta itu diperuntukkan lahan berupa hutan berat. Namun Dandan tetap berkilah bahwa hal tersebut bervariasi.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menilai, semua penjelasan dari Dinas Pertanian tak bisa menjawab kejanggalan dan dugaan mark up yang berpotensi menimbulkan kerugian Negara.
“Selain sudah tak sesuai dengan Perbup baru dan pedoman teknis dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, saya juga memiliki pertanyaan, logikanya, jika standar APBN yang menggunakan harga Rp16 juta per hektar bisa terlaksana sesuai target, lalu kenapa yang bersumber dari APBD harus memakan biaya yang lebih besar? Ini sangat janggal dan diduga adanya mark up karena tak mengacu kepada Perbup dan pedoman teknis,” pungkasnya.(gie)