Beritacianjur.com – SELAIN adanya dugaan ‘mark up’ serta sejumlah kejanggalan pada pelaksanaan pencetakan sawah baru di Cianjur, Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Holtikultura Cianjur juga disorot terkait kejanggalan pekerjaan pembangunan lahan parkir Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Karangtengah.
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menyebutkan, selain tidak terdaftar di Layanan Pengadaan Jasa Pemerintah Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Cianjur, di lokasi pembangunannya pun tidak terpasang papan proyek.”Ini sangat janggal, di LPSE-nya tidak ada, di lapangan juga tidak memasang papan proyek. Lalu siapa pemenang proyek lahan parkir BPP Karangtengah ini? Kapan mulai dikerjakannya? Aneh, Dinas Pertanian Cianjur harus bisa menjelaskannya,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Senin (27/1/2020).
Menurut Anton, sebelumnya pada tahun anggaran 2019, di LPSE terdapat pekerjaan Pembangunan/Perbaikan BPP Kecamatan dan Penyediaan Sarana Pendukungnya Pembangunan Gedung Aula Pertemuan BPP Kecamatan Karangtengah, dengan nilai pagu paket Rp750 juta.
“Untuk paket yang sebelumnya ini jelas ada tender, lalu kenapa yang pembangunan lahan parkirnya tidak jelas? Jelas-jelas ini pekerjaan ‘gaib’,” ungkapnya.
Anton menegaskan, dengan banyaknya permasalahan di Dinas Pertanian Cianjur, ia berharap aparat penegak hukum bisa segera turun tangan untuk mengungkap berbagai kejanggalan yang terjadi.”Sebelum proyek ‘gaib’ ini terungkap, Dinas Pertanian Cianjur juga diduga melakukan ‘mark up’ pada pelaksanaan pencetakan sawah baru. Banyak sekali masalahnya,” katanya.
Sementara itu, sejak Jumat (24/1/2020) lalu, wartawan sudah mengajukan pertanyaan terkait kejanggalan pembangunan lahan parkir BPP Karangtengah, kepada Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Cianjur, Dandan Hendayana, namun hingga saat ini belum juga ada penjelasan.
Bahkan sebelumnya, untuk permasalahan dugaan adanya ‘mark up’ serta sejumlah kejanggalan pada pelaksanaan pencetakan sawah baru di Cianjur, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Pangan dan Holtikultura Cianjur, Mamad Nano masih belum juga memberikan penjelasan.
Meski sudah tiga hari berturut-turut mendatangi kantornya untuk mengonfirmasi langsung, wartawan masih belum berhasil menemui Kadis Pertanian. Walaupun mobil dinasnya terlihat terparkir, namun disebutkan tengah tak berada di kantor.
Wartawan mencoba meminta keterangan dari Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Henny Iriani Winata, namun hanya mendapatkan jawaban bahwa pihaknya memerlukan waktu untuk menjawab pertanyaan wartawan.
Diberitakan sebelumnya, Dinas Pertanian Cianjur terus menjadi sorotan publik. Pasalnya, dugaan mark up dan kejanggalan pada pelaksanaan pencetakan sawah baru di Cianjur semakin menguat. Benarkah?
Ya, setelah sebelumnya dinilai melanggar pedoman teknis dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, karena melakukan pencetakan sawah baru dengan menghabiskan anggaran Rp23 juta per hektar, kini Direktur Pusat Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan, menguak sejumlah dugaan mark up dan kejanggalan lainnya yang dilakukan Dinas Pertanian Cianjur.
“Soal kemarin yang menggunakan Rp23 juta per hektar padahal menurut pedoman teknisnya hanya Rp16 per hektar untuk cetak sawah baru saja sudah janggal, sekarang masih banyak lagi sejumlah kejanggalan lainnya. Bahkan dugaan mark up-nya lebih besar,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Selasa (21/1/2020).
Ia memaparkan, pada tahun anggaran 2019, Dinas Pertanian Cianjur melaksanakan kegiatan pencetakan sawah baru dengan anggaran Rp2 M. Dari Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) 2019, diketahui jika kegiatan sawah baru tersebut output-nya menambah lahan sawah baru seluar 15 hektar.
Ia menyebutkan, lokasi perluasan sawah barunya di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara. Anggaran perluasan sawah baru Rp2 M tersebut digunakan untuk perluasan/pencetakan sawah baru seluas 15 hektar Rp345 juta, kegiatan bintek perluasan sawah baru Rp174.374.000, jasa konsultan senilai Rp12 juta, workshop Rp42 juta, pengadaan pupuk sarana perluasan sawah baru Rp126 juta. Alhasil, biaya keseluruhan yang dihabiskan hanya Rp699.374.000.
“Anggarannya Rp2 M tapi yang dihabiskan hanya Rp699.374.000. Pertanyaannya, ke mana sisa dana sebesar Rp1.300.626.000?” tegasnya.
Tak hanya itu, Anton juga menyebutkan kejanggalan lainnya terkait adanya mark up atau adanya perbedaan standar biaya cetak sawah yang ditentukan Dinas Pertanian.
Pada 2018 untuk luas 60 hektar sawah, sambung dia, Dinas Pertanian menganggarkan biaya perluasan sawah baru sebesar Rp1.620.000.000. Alhasil untuk per hektarnya sebesar Rp27 juta. Berbeda dengan yang terjadi pada 2019. Untuk luas 15 hektar Dinas Pertanian mengalokasikan dana sebesar Rp345 juta. Alhasil biaya perluasan sawahnya Rp23 juta.
“Kenapa anggarannya bisa beda? Ini kan sangat janggal dan dugaan mark up-nya sangat kuat. Belum lagi jika kita melihat pedoman teknis atau juknis yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, yakni biaya pencetakan/perluasan sawah baru itu paling tingginya senilai Rp16 juta per hektar untuk di Pulau Jawa. Ini kok dinas bisa seenak jidat seperti ini,” pungkasnya.(gie)