Beritacianjur.com – SEJUMLAH dugaan penyelewengan pada kegiatan pengelolaan retribusi kebersihan atau persampahan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cianjur, masih menjadi sorotan publik.
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan mengungkap sejumlah dugaan tersebut. Menurutnya, terdapat 5 dugaan penyelewengan yang dilakukan DLH.
Pertama, Anton menduga adanya penggelapan atau merekayasa laporan pendapatan retribusi. Ia menyebutkan, selama 4 tahun berturut-turut, pendapatan dari retribusi pelayanan persampahan kebersihan yang dikelola DLH, tidak pernah tercapai alias realisasi pendaparan selalu lebih kecil dari target yang sudah ditetapkan.
“Dari hasil penelusuran yang kami lakukan, tidak tercapainya target pendapatan dari retribusi
pelayanan persampahan/kebersihan ini bukan disebabkan oleh keengganan masyarakat dan wajib
retribusi membayar uang retribusi, tapi kami memperoleh indikasi adanya permainan kotor yang dilakukan oleh sejumlah oknum di DLH Cianjur, yaitu diduga melakukan penarikan retribusi namun tidak disetorkan seluruhnya ke kas umum daerah,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Kamis (6/2/2020).
Kedua, Anton menduga adanya indikasi ‘mark down’ pendapatan retribusi kebersihan pada 2019 sebesar Rp1 M. Menurutnya hal tersebut terlihat dari realisasi pendapatan retribusi kebersihan tahun 2019 sebesar Rp1.122.082.000, dari target pendapatan Rp1.453.418.505. Sementara pada 2018, realisasinya sebesar Rp785.220.600 dari target sebesar Rp1.091.807.221.
“Jika dilihat sepintas memang seperti tidak ada persoalan, namun jika melihat besaran tarif retribusi yang berlaku pada 2018 dan 2019, maka akan terlihat jelas adanya dugaan tindakan ‘mark down’ pendapatan retribusi,” ungkapnya.
Anton menjelaskan, pada 2018, tarif retribusi untuk rumah tinggal sebesar Rp2.500 per bulan. Sedangkan pada 2019 naik menjadi Rp5.000 per bulan. “Logika saja, dengan adanya kenaikan tarif retribusi yang diberlakukan tahun 2019 sebesar 2 kali lipat dari tarif sebelumnya, seharusnya target pendapatan retribusi tahun 2019 juga bertambah sebesar 100% dari taget pendapatan di tahun 2018,” bebernya.
Ketiga, CRC menduga adanya penarikan retribusi tanpa karcis. Menurut Anton, hal tersebut jelas melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Tak hanya itu, hal tersebut juga disebutkan Anton berpotensi adanya dugaan korupsi karena berpotensi menimbulkan kerugian Negara.
“Pada Pasal 160 Ayat 1 disebutkan, retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan. Sementara pada Ayat 2 disebutkan, dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat 1, dapat berupa karcis, kupon dan kartu langganan,” paparnya.
Keempat, Anton menduga adanya potensi yang dilaporkan namun belum dipungut. Menurutnya, karut-marut pengelolaan retribusi kebersihan disinyalir sudah berlangsung sejak 2014. Hal tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemkab Cianjur Tahun Anggaran 2014.
“Dari hasil pemeriksaan terungkap jika struktur dan besarnya tarif retribusi kebersihan dibagi menjadi 25 kelompok/golongan wajib retribusi. Diketahui jika dari 25 kelompok tersebut tercatat sebanyak 15 kelompok/golongan telah dipungut retribusinya, sedangkan sisanya sebanyak 10 kelompok belum terpungut,” sebutnya.
“Laporan dari DLH tersebut perlu diusut kebenarannya, apakah benar tidak terpungut atau dipungut tanpa disertai karcis dan tidak dilaporkan?” sambungnya.
Anton menerangkan, salah satu kejanggalannya bisa dilihat dari salah satu kelompok wajib retribusi pelayanan persampahan, yakni hotel. Pada 2014, sambung Anton, DLH hanya menarik 4 hotel, antara lain Hotel Novus, Hotel Cianjur, Mtero Permai dan Delaga Biru yang hanya menghasilkan retribusi kebersihan sebesar Rp23.450.000. “Pertanyaannya, benarkah hotel-hotel lainnya di Cianjur tidak dipungut retribusi pelayanan persampahan/kebersihannya?” ucapnya.
Terakhir alias yang kelima, Anton menduga, pemungutan retribusi yang dilakukan DLH tidak sesuai dengan Perda. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2012, sambung dia, telah ditetapkan besaran tarif retribusi pelayanan persampahan/kebersihan bervariasi disesuaikan dengan kelompok/golongan wajib retribusi.
“Besaran penetapannya dihitung berdasarkan kubikasi sampah yang dihasilkan, jumlah kamar,
atau secara bulanan. Hasil pemeriksaan BPK RI Tahun 2014 secara uji petik terhadap pemungutan retribusi persampahan, untuk golongan pasar menunjukkan bahwa pemungutan retribusi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu berdasarkan kubikasi.
“Salah satu contohnya, dalam Perda disebutkan tarif retribusi kebersihan untuk kelompok pasar adalah Rp40 per meter kubik. Kondisi tersebut jelas tidak sesuai dengan PP 58 Tahu 2005, Pertauran Mendagri Nomor 13 tahun 2006 serta Perda Cianjur nomor 7 Tahun 2012,” sebutnya.
Anton menambahkan, BPK RI pada 2014 menyatakan, permasalahan tersebut mengakibatkan Pemkab Cianjur kehilangan kesempatan untuk memperoleh penerimaan dari retribusi pelayanan
persampahan/kebersihan per tahun sebesar Rp1.533.050.000.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Cianjur People Movement (Cepot), Ahmad Anwar menegaskan, pihaknya tak akan hanya menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DLH Cianjur, namun juga akan segera mambuat laporan resmi kepada aparat penegak hukum, terkait dugaan sejumlah penyelewengan di DLH Cianjur. “Masalah di DLH ini sudah tak bisa dibiarkan lagi, harus segera diusut tuntas dan ditindak tegas,” pungkasnya.(gie)