Beritacianjur.com – BADAN Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Cianjur diduga kuat melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan, dengan mengeluarkan kebijakan yakni mengizinkan penggunaan lahan pertanian beririgasi teknis menjadi kawasan industri dan perumahan.
Itulah yang diungkapkan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan kepada beritacianjur.com, Minggu (22/12/2019). Menurutnya, kebijakan tersebut terdapat dalam Pertimbangan Teknis yang dikeluarkan BPN untuk setiap izin penggunaan tanah.
Anton menegaskan, kebijakan BPN yang mengarah terhadap alif fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (industri dan perumahan, red) tersebut, jelas melanggar Keputusan Presiden (Keppres) 33 tahun 1990, Keppres Nomor 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri, serta Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5 Juni 1996, tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering.
“Dari data yang kita peroleh, sejak tahun 2011 hingga 2019 sudah ada ratusan pabrik dan perumahan yang didirikan di atas lahan pertanian,“ tegasnya.
Pada Keppres Nomor 33 tahun 1990, sambung Anton, Pasal 1 menyebutkan, pencadangan tanah dan/atau pemberian izin lokasi dan izin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan industri, dilakukan dengan ketentuan: 1. Tidak mengurangi areal tanah pertanian, 2. Tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber alam dan warisan budaya, serta sesuai dengan sarana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
“Sementara pada Pasal 2 disebutkan, selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pelaksanaan kegiatan pembangunan juga tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian, kawasan hutan produksi serta kawasan lindung,“ ungkapnya.
Sebelumnya, Anton membeberkan ‘dosa-dosa’ yang dilakukan BPN. Ya, selain adanya dugaan pungutan liar pada pengurusan Pertimbangan Teknis (Pertek) Pertanahan, namun BPN Kabupaten Cianjur juga diduga melakukan pelanggaran berat lainnya.
Menurutnya, pelanggaran berat tersebut yakni terkait alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan fungsi lain dan soal pelaksanaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Ya bukan hanya dugaan soal pungli terhadap pihak yang mengajukan Pertek dengan tarif Rp2.000 per meter saja, tapi ada juga indikasi pelanggaran lainnya yang tak kalah berat,” ungkapnya.
Terkait alih fungsi lahan, Anton menduga, dalam rentang waktu 2011 hingga 2019, BPN Cianjur diduga kuat mengeluarkan persetujuan terhadap alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan fungsi lain, di antaranya untuk industri dan perumahan.
Sedangkan terkait PTSL, Anton menerangkan, BPN Cianjur diduga melakukan penyimpangan berupa adanya indikasi pengendapan setoran Pajak Penghasilan (PPh) final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dibayar peserta PTSL.
“Dua persoalan tersebut jelas pelanggaran berat yang tak bisa dibiarkan. Harus segera diusut tuntas,” tegasnya.(gie)