BERITACIANJUR.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan usai memutuskan untuk mengizinkan peserta pemilu berkampanye di lingkungan sekolah dan fasilitas pemerintah dengan beberapa syarat.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menegaskan, perlunya mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.
Baginya, dua nilai ini perlu dikedepankan agar tidak merusak iklim demokrasi di Indonesia. Ia juga mengingatkan agar kebijakan ini tidak disalahgunakan.
“Jangan sampai (dengan) waktu yang pendek sekitar 75 hari nanti lalu kampanye di lembaga pendidikan (dan) lembaga pemerintahan malah yang terjadi bukan kampanye tapi mobilisasi (massa). Itu malah berbahaya dan buruk buat Demokrasi kita,” ujar Mardani mengutip laman dpr.go.id, Sabtu (26/8/2023).
Mengetahui bahwa keputusan MK bersifat mengikat, ia pun menyatakan sepakat untuk melaksanakan agenda pembahasan lebih lanjut antara Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPPU).
Agenda ini, lanjutnya, akan mencermati secara rinci mengenai teknisnya sehingga penerapannya tidak menimbulkan multitafsir.
“Sudah dirancang kita (Komisi II DPR) akan bahas dengan antara KPU Bawaslu DKPP. Kita juga lagi mencermati (secara) detail Keputusan MK karena keputusan yang baru 2-3 hari yang lalu disampaikan. Kita ingin membahasnya dengan seksama, mudah-mudahan pekan depan,” ungkapnya.
Sebagai informasi, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di lingkungan pendidikan dan fasilitas pemerintahan selama tidak menggunakan atribut kampanye.
Hal itu termuat dalam putusan MK Nomor 65/PPU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon menilai ada inkonsistensi aturan terkait peraturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Disebutkan larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 Ayat (1) huruf h.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bagian penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan. Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 Ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa ‘tempat ibadah’.
“Sehingga Pasal 280 Ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi (peserta pemilu dilarang, red) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, tempat pendidikan. Kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,” bunyi putusan tersebut.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU terdahulu.(gap/bbs)