BERITACIANJUR.COM – RESMI, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2014-2019 dan 2019-2024 asal Partai Golkar, Ade Barkah Surahman (ABS), dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2014-2019, Siti Aisyah Tuti Handayani (STA) ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka baru dalam pengembangan kasus dugaan suap pengurusan dana bantuan provinsi (banprov) kepada Kabupaten Indramayu Tahun Anggaran 2017-2019, Kamis (15/4/2021).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menegaskan, pihaknya akan mendesak KPK untuk menelusuri juga pengurusan dana banprov di Kabupaten Cianjur.
“Kejadian di Indramayu menjadi peringatan dan pembelajaran untuk di Cianjur juga. Artinya, kami juga akan mendesak KPK agar menelusuri pengurusan dana banprov kepada Kabupaten Cianjur,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Jumat (16/4/2021).
Anton mengatakan, upayanya tersebut berkaitan dengan langkah pihaknya bersama GNPK-RI yang saat ini tengah mengawal atas upayanya melaporkan Plt Bupati Cianjur, Herman Suherman ke KPK, terkait dugaan korupsi penyusunan dan pelaksanaan APBD Cianjur Tahun Anggaran 2019 senilai Rp1,2 T.
“Saat ini kami bersama GNPK-RI tengah mengawal atas laporan kami ke KPK soal dugaan korupsi APBD. Dengan adanya kejadian banprov Indramayu ini, sekalian kami akan mendesak KPK agar menelusuri kemungkinan terjadi hal yang sama di Cianjur,” tegasnya.
Menurutnya, dengan ditetapkannya Ade Barkah sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana Banprov Jabar Tahun 2017-2019 di Kabupaten Indramayu, KPK semestinya tidak berhenti pada kasus yang terjadi di Kabupaten Indramayu saja. KPK dapat memperluas penyelidikan dan penyidikannya pada penggunaan dana Banprov di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Cianjur yang merupakan daerah pemilihan Ade Barkah Surahman.
“Dalam pengungkapan peristiwa pidana, dikenal istilah modus operandi, yaitu membongkar metoda, cara serta siasat pelaku kejahatan. Nah, modus operandi permainan Banprov di kalangan legislator ini pada dasarnya sama, jika modus operandi di Indramayu terkuak maka modus operandi di daerah lain kurang lebih sama,” ungkapnya.
Anton menjelaskan, dokumen yang disita oleh KPK di kantor Bappeda sebenarnya akan bicara banyak. Pasalnya, dari dokumen tersebut akan terungkap berapa alokasi banprov yang disalurkan ke setiap daerah kota dan kabupaten pada tahun anggaran 2017-2019. Di sana juga akan terlihat proyek mana saja yang jadi jatah aspirasi tiap-tiap anggota maupun pimpinan dewan.
“Untuk menemukan adanya indikasi permainan atau penyimpangan, penyidik tinggal menelusuri mulai dari surat usulan banprov 2017-2019 yang dibuat oleh Kepala Daerah, kemudian identifikasi apakah ada pengawalan yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD Provinsi atas usulan tersebut, identifikasi pemenang tender atau pelaksana proyeknya, periksa rekam jejak pelelangannya, maka akan terungkap semua. Apa yang terjadi di Indramayu, saya yakin 100% terjadi pula di Cianjur dan modus operandinyapun sama,” paparnya.
Sementara itu, terkait kasus banprov Indramayu, dalam konferensi persnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, KPK meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan sejak bulan Februari 2021 dengan menetapkan 2 orang sebagai tersangka yaitu ABS (Ade Barkah Surahman) dan STA (Siti Aisyah Tuti Handayani).
“Perkara ini adalah satu dari banyak kasus yang diawali dari kegiatan tangkap tangan KPK. Pada 15 Oktober 2019 KPK menggelar kegiatan tangkap tangan di Indramayu. Hasilnya, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka dan menyita uang yang terkait dengan perkara sebesar Rp 685 juta,” kata Lili dalam konferensi pers.
Ia menyebutkan, keempat tersangka yang ditetapkan setelah kegiatan tangkap tangan itu adalah Bupati Indramayu 2014-2019 Supendi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Omarsyah, Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Wempy Triyono, serta dari pihak swasta bernama Carsa ES.
“Saat ini empat orang tersebut telah divonis majelis hakim Tipikor dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap,” ucapnya.
Menurut Lili, perkara tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut dan pada sekitar Agustus 2020. KPK, sambung dia, menetapkan tersangka lain yakni Abdul Rozaq Muslim yang merupakan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2014-2019. Abdul Rozaq saat ini masih dalam proses persidangan pada Pengadilan Tipikor pada PN Bandung.
Akibat perbuatannya, dua Anggota DPRD itu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.(gie)