Beritacianjur.com – JIKA Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Cianjur, Dedi Sudrajat tidak bisa menjelaskan alokasi Acress senilai Rp9,8 M yang disebut sejumlah kalangan sebagai dana siluman, maka DPRD Cianjur harus mencoretnya.
Itulah yang diungkapkan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan kepada beritacianjur.com, Senin (18/11/2019). Menurutnya, hal itu harus dilakukan wakil rakyat karena adanya kejanggalan serta posisi APBD 2020 saat ini defisit.
Berdasarkan informasi, Kepala BPKAD tak hanya bungkam saat beberapa kali diwawancara wartawan, namun Dedi juga tak bisa menjelaskan secara jelas saat dipertanyakan wakil rakyat pada rapat di Gedung DPRD Cianjur belum lama ini.
Anton menyebutkan, pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 58 menyebutkan, pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai ASN dengan memerhatikan kemampuan Keuangan Daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jangan memuluskan anggaran yang tak jelas, apalagi posisi APBD 2020 saat ini posisinya defisit. Jangan aneh kalau banyak yang menilai acress Rp9,8 itu merupakan dana siluman, karena Kepala BPKAD-nya selalu bungkam,” paparnya.
Anton menegaskan, ketika Kepala BPKAD selalu bungkam terhadap wartawan dan tak bisa memberikan penjelasan kepada wakil rakyat, maka sudah melanggar Undang-Undang RI Nomor Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
“Pada pasal 3 disebutkan, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan, kepatuhan, manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, bagaimana mau transparan, ditanya saja sulit,” ungkapnya.
Saat ditanya terkait sanksi jika terbukti adanya kesalahan atau penyimpangan, Anton menilai hal tersebut sudah jelas diatur di Undang-Undang RI Nomor Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pada Bab IX mengenai Ketentuan Pidana, Sanksi Administratif dan Ganti Rugi.
Pada Pasal 34 ayat 1, sambung Anton, disebutkan bahwa menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pasal 34 ayat 2 menyebutkan, pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pasal 34 ayat 3 menyebutkan, presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai ditentukan dalam undang-undang ini.
“Sementara pada Pasal 35 ayat 1 disebutkan, setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud,” jelasnya.
Sebelumnya Anton menduga, pihak BPKAD secara sengaja memasukkan ‘anggaran siluman’ dalam belanja tambahan penghasilan PNS sebesar Rp 9,842 M. Jika dilihat dari kode rekening 5.1.1.02.06, anggaran yang disimpan yakni diperuntukkan tunjangan kinerja yang diberikan kepada PNS di BPKAD yang menduduki jabatan Acress.
“Pertanyaannya, jabatan apa Acress di BPKAD yang menerima tunjangan kinerja Rp 9,842 M? Siapa orang yang menerima tunjangan sebesar itu?” ungkap sang Direktur CRC, Anton.
Ia menilai, seharusnya anggaran acress adalah anggaran belanja pegawai di setiap SKPD untuk mengakomodir kebutuhan kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan keluarga dan mutasi pegawai. Besarnya anggaran acress, maksimal sebesar 2,5% dari total anggaran belanja pegawai di SKPD untuk gaji pokok dan tunjangan.
“Seharusnya penganggaran acress itu ada di pos belanja pegawai di setiap SKPD bukan hanya di BPKAD saja, karena menurut aturan, acress diperuntukkan mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, pangkat dan tunjangan keluarga serta adanya mutasi pegawai,” jelasnya.
“Kalau yang dilakukan oleh BPKAD dengan mencantumkan anggaran acress sebesar Rp 9,842 M dalam belanja tunjangan kinerja BPKAD, ini jelas-jelas sebuah kesengajaan untuk mencairkan uang Negara dengan alasan acress. Ini tidak bisa dibiarkan, dan Banggar DPRD yang saat ini tengah membahas RKA APBD 2020 jangan membiarkan tindakan korup seperti ini terjadi,” sambungnya.
Tak hanya itu, lanjut Anton, kejanggalan tersebut menjadi salah satu bukti jika penyusunan RKA dilakukan tanpa mematuhi aturan perundang–undangan, salah satunya Permendagri Nomor 33 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2020. Padahal, Kepala BPKAD Cianjur, Dedi Sudrajat yang juga sebagai pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD), merupakan pihak yang mengesahkan RKA dan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) dari setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Masa RKA dinas atau badan yang dipimpin pejabat yang mengesahkan RKA dan DPA dari setiap OPD isinya salah. Kita jadi bertanya, ini salah karena tidak tahu aturan atau disengaja? Mungkin kalau ketahuan lanjut terus ke pencairan, tapi kalau ketahuan bilang salah ketik,” pungkasnya.(gie)