DINAS Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Cianjur akhirnya mengakui bahwa rest area Puncak tidak dibangun. Pekerjaannya hanya membangun gapura atau gerbang dan lampu hiasan Asmaul Husna.
“Rest area itu ruang lingkupnya terdiri dari gerbang, lampu Asmaul Husna, dan rest areanya itu tidak kebangun karena salah judul,” ujar Kepala Bidang Bangunan Gedung PUPR, Wahyu Budi Raharjo kepada beritacianjur.com, Selasa (15/10/2019).
Sebelum mengakui hal tersebut, Budi sempat memberikan jawaban yang berbeda-beda terkait lokasi rest area. Awalnya, ia mengaku bekerjasama dengan pihak Puncak Pass yang dijadikan sebagai lokasi rest area. Namun belakangan mengatakan hanya sekadar koordinasi.
“Awalnya kan lokasinya itu di lahan eks longsor, tapi karena longsor kita koordinasi dengan Puncak Pass. Rest area di kecamatan lain ada rest areanya, di Puncak tidak kebangun karena di Puncak mah susah cari lahannya,” katanya.
Untuk memastikan kebenaran terkait kerjasama antara Puncak Pass dengan Dinas PUPR, tim mencoba mengonfirmasi langsung. Menurut salah seorang pegawai di Puncak Pass, pihaknya tidak tahu menahu terkait kerjasama tersebut
“Kurang tahu kalau soal kerjasama sama Dinas PUPR mah. Malah kalau boleh komplen, sebenarnya kita lagi komplen sama PUPR soal penyelesaian perbaikan longsor di lokasi kami yang belum kelar,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menilai, secara tidak langsung Dinas PUPR sudah mengakui kesalahannya. Karena dugaan pelanggarannya sudah jelas, sambung Anton, maka aparat penegak hukum harus segera menindaknya.
“Ini bukan hanya persoalan salah dan benar, tapi juga persoalan penyimpangan anggaran yang menyebabkan kerugian negara. Unsur-unsur tindak pidana korupsinya sudah jelas dalam kasus pembangunan rest area Puncak yang fiktif ini,” terangnya.
Terkait penjelasan Kabid PUPR yang mengatakan permasalahannya hanya salah judul, Anton menilai jawaban tersebut tidak masuk akal. Menurutnya, sangat aneh jika Dinas PUPR beralasan penyebabnya hanya karena salah judul kegiatan saja, karena untuk melaksanakan satu buah kegiatan pembangunan fisik, diperlukan proses panjang dan waktu tidak sebentar dan semua tahap saling keterkaitan satu sama lain.
Proses tersebut, sambung Anton, dimulai dari perencanaan kegiatan, perencanaan anggaran, penyusunan dokumen RKA dan DPA, proses lelang pekerjaan, pembuatan DED, persiapan pelaksanaan pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan, serah terima pekerjaan serta proses pembayaran/pencairan kepada pihak rekanan.
“Semua sekarang sudah jelas, rest area di Puncak tidak dibangun dan yang dibangun hanya gerbang dan lampu hiasan saja. Pertanyaannya, jika yang dibangun hanya gerbang dan lampu, lalu kenapa anggarannya tetap Rp3,9 M?” ungkapnya.
“Kalau benar ada kesalahan judul kegiatan, harusnya proses tender dihentikan dan dilakukan perbaikan dokumen lelang dari mulai perencanaan. Bukannya keukeuh melanjutkan proses lelang dengan tetap menggunakan dokumen pertama, dan di tengah jalan kegiatan diganti atau diubah jadi kegiatan berbeda dengan yang ditender. Ini aturan dari mana yang dipake PUPR Cianjur ? Jadi, aparat penegak hukum juga harus memeriksa proses lelangnya dari awal,” kata Anton.
Sebelumnya Anton menjelaskan, potensi terjadinya tindak pidana korupsi dari pengadaan barang dapat terjadi mulai tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Berdasarkan UU 31/1999 jo UU 10/2001, lanjut Anton, setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan ke dalam tujuh bentuk tindak pidana korupsi (tipikor).
“Tujuh bentuk tipikor tersebut antara lain merugikan keuangan negara dengan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi,” jelasnya.
Anton menambahkan, kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, pada umumnya para pelaku didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999.
Pasal 2 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 M.
Sementara pada ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Sedangkan pada pasal 3 disebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 M. (gie/jam)