Sudah semua cara dilakukan Irwandi. Dari mulai menjadi sopir, penjual bensin eceran, pinjaman online, bahkan sampai judi. Namun, usaha yang ia lakukan malah membuat hutangnya makin membengkak. Dalam kejaran debt collector yang menagihnya, dia menemukan cara untuk mengatasi masalahnya. Menemui Samud.
“Jadi,” kata Irwandi dengan tubuh penuh kesopanan. “Mengenai postingan sosial media milik pasien Mbah yang sembuh dari penyakit beberapa waktu lalu. Apakah itu benar-benar berhasil?”
Samud menarik napas panjang. Ia memegang jenggot lebat mengitari wajah. Perlahan ia mengeluarkan sebuah alat mirip kantong, “Sini uangmu. Taruh ke dalam.”
Irwandi merogoh sakunya. Masih ada uang pecahan lima puluh ribu. Diintipnya lubang itu dari atas. Kosong. Kemudian dengan perlahan tapi penuh rasa was-was, uang itu dimasukkan ke dalam lubang sepanjang tangan laki-laki dewasa. Cukup dalam. Untuk apa kantong sepanjang itu, batinnya.
Samud melantunkan jampi-jampi. Beberapa kali ia terlihat membetulkan peci hitam yang tampak lusuh. Kosakata yang dirapalkan mirip dengan bahasa daerah namun ditambah saduran beberapa bahasa arab yang Irwandi tidak mengerti maknanya. Maklum sebagai perantau yang sengaja datang dari luar pulau, ia hanya memiliki tujuan untuk mengadu nasib pada dukun ini dan setelah urusannya selesai ia akan pulang kemudian memulai hidup baru bersama anaknya di rumah.
Tangan Samud lalu mengocok kantong itu sambil sesekali menyipratkan air—yang katanya diperolehnya langsung dari negara Arab. Meski keriput sangat nampak pada kulitnya tetapi terkesan ia tidak terlalu tua dari segi tenaga. Kegiatan itu diulang sampai tiga belas kali. Di dunia yang menyinggung hal-hal tak kasat mata, angka tiga belas dianggap sebagai angka kramat. Di dunia bagian barat pun banyak yang menganggap angka tersebut dipenuhi kesialan. Hotel dan beberapa gedung tinggi menghilangkan angka tiga belas sebagai bentuk perlindungan diri dari hal-hal buruk.
Sakti mandraguna. Samud mengeluarkan kertas berwarna merah banyak sekali. Terlempar dari dalam kantong, berserakan di lantai rumah. Dukun Samud berhasil mengubah uang lima puluh ribu milik Irwandi menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya. Mata Irwandi takjub, wajahnya dipenuhi kemenangan sejati. Baru kali ini ia melihat keajaiban seperti ini.
“Ajaib! Mbah, sekarang aku percaya!” kata Irwandi girang sambil memunguti uang itu. “Tidak salah aku jauh-jauh bertamu ke sini. Kamu memang orang yang aku cari selama ini.”
Tidak cukup sampai di situ. Mbah Samud membacakan jampi-jampi yang lain. Sambil mengambil tambahan kunyit yang dicampur kopi hitam. Dengan gerakan menggetar-getarkan seluruh badannya seperti orang kesurupan serta bacaan serupa seperti yang ia lakukan di awal, perlahan ia mengeluarkan sesuatu dari kantong: perhiasan emas serta ada arloji dari merk terkenal, menyodorkannya kepada Irwandi.
Irwandi nyengir. Dari senyumnya itu ada harapan tentang mimpi yang selama ini ia cita-citakan: melunasi hutangnya yang ratusan juta.
Dari luar terdengar suara gemuruh angin yang mengibas-ibaskan reranting dan pohon bambu. Azan magrib berkumandang dari masjid satu-satunya di kampung. Disusul lantunan salawat dan doa-doa.
“Mbah, aku minta tolong kepadamu agar semua uang di tas ini bisa kau gandakan juga,” sambungnya menyodorkan tas gemuk sebesar perut sapi. Isi dari tas itu kurang lebih 70 juta. “Mbah tentu berkenan bukan?”
Samud menggeleng. Ia diam dengan mata terpejam, “Kau bilang kepadaku bahwa kau punya hutang berlipat bukan?”
Irwandi mengangguk. Kedatangannya tidak lain memang akibat dari faktor ekonomi yang mendesaknya.
“Hutangmu 500 juta pasti akan lunas sebentar lagi.”
Di bayangan kepalanya mulai muncul sebuah rekaman tentang kebahagian hidup yang selama ini ia nantikan. Irwandi mendengar kalimat itu dengan takzim.
“Nggeh Mbah. Aku rela melakukan perjalanan sejauh ini demi tuntas semua hutangku, demi kebahagiaan keluargaku,” ujar Irwandi dengan meluap-luap.
“Uang ini terlalu besar, tidak bisa dilakukan dengan ritual biasa,” kata Samud. Ia tidak turut memasukan duit milik Irwandi ke dalam kantong tapi justru menyimpan tas itu.
“Kita harus melakukan ritus kecil di bukit sana. Aku sudah menyiapkan satu ekor kambing buat sesajen dan perlengkapan lain,” sambung Samud sambil menunjuk sebuah bukit dari kaca jendela. “Ritual ini tidak hanya membuat hutangmu lunas, tetapi kau akan jadi orang berilmu, orang pinter.”
Irwandi menurut. Kedua orang itu berjalan berjalan menjauhi desa. Matahari semakin tenggelam sempurna ke arah barat saat. Kampung ini memiliki rumah yang berjarak. Jarang sekali mereka berdua melihat penduduk. Kalau pun ada, pasti hanya satu dua yang baru pulang dari kebun. Namun tidak ada tegur sapa yang terjadi.
Sambil berjalan, Irwandi mengingat-ingat apa yang dikatakan anaknya sebelum berangkat.
“Mengingat banyak kasus tentang investasi bodong dan penipuan di berita, apakah Bapak masih percaya pesugihan itu?” kata anaknya suatu hari.
“Ya. Buktinya ada banyak di Facebook,” jawab Irwandi sambil memperlihatkan ponselnya. “Aku sudah melakukan riset. Tidak satu pun dari testimoni itu yang palsu. Aku sudah yakin sama Dukun Samud.”
“Tapi Bapak kan tidak tahu daerah itu seperti apa,” jelas anaknya meyakinkan. “Itu desa yang jauh juga daerah jarang penduduk.”
Irwandi sebenarnya tahu langkah yang diambil ini mengambil banyak risiko. Ia sempat ragu. Namun hasil perbincangan dengan Samud di telepon itu membuat yakin dan berhasil merobohkan kebimbangannya. Lagi pula ini bukan dukun pertama yang ia datangi, batinnya.
Ia pernah mengidap susah berjalan. Sudah puluhan rumah sakit ia kunjungi, tetapi semuanya tidak menyembuhkan penyakitnya. Dokter hanya menyarankan untuk istirahat kemudian memberi obat. Lalu ia datang ke dukun dekat rumahnya. Sungguh tak dapat dipungkiri, kakinya yang sakit tiba-tiba sembuh.
Selanjutnya saat tak kunjung diterima cintanya oleh wanita, ia lantas mendatangi ‘orang pinter’ di kampung lain. Sekitar lima hari setelah ritual dilakukan, semua yang diharapkan terkabul. Wanita yang menolaknya tiba-tiba datang dan meminta maaf atas perkataannya.
Maka, dengan keyakinan terhadap dukun pertama dan dukun kedua yang memiliki spesialis berbeda. Ia harus mencari sendiri dukun ketiga yang berkemampuan melunasi hutang-hutangnya. Telah ia tanyakan semua teman-temannya, namun semua menggeleng. Jika ada, maka dukun yang diusulkan tidak membuat Irwandi tersenyum. Meski hanya tamatan sekolah dasar, ia mampu membedakan dukun mana yang hanya menipu dan memanfaatkan korbannya.
Kebengongan Irwandi tersadar saat melihat bolong di pinggiran bukit dekat jalan tanah kebun. Lubang itu ketimbang mirip hasil dari tanaman sayur atau umbi-umbian yang baru dicabut lebih pantas untuk mengubur sesuatu yang lebih besar seperti kambing. Namun Samud mengatakan bahwa banyak itu akan dipergunakan untuk mengubur sampah dari desa. Akan lebih banyak masalah daripada membakarnya, ujarnya.
Sudah tiga puluh menit mereka berjalan tetapi bukit yang dituju tak kunjung terlihat. Belum lagi bebatuan di jalan menanjak membuat langkah Irwandi terhambat. Samud dapat dengan mudah mendaki walaupun hanya memakai sendal jepit.
Dari langit, matahari merubah tubuhnya menjadi bulan. Suara azan magrib pun sudah selesai. Banyak awan malam itu dan satu-satunya sumber cahaya yang cukup terang untuk membantu perjalanan hanya berasal dari obor. Api dari minyak yang sedari awal dipegang oleh Samud.
Di kampung ini udara dapat menelan jaringan ponsel. Namun ia masih sempat untuk membaca pesan dari anaknya sebelum benar-benar hilang kontak.
Jangan lupa untuk terus memberiku kabar.
Ia hanya membalas pesan itu dengan pengiriman lokasi terkini. Takut bila terjadi sesuatu. Tapi tetap saja Irwandi sudah sepenuhnya yakin atas segala keragu-raguannya. Wong cilik tahu apa, desisnya. Pikiran tentang memiliki mobil mewah dan rumah dimana-mana menjajah pikirannya. Sebentar lagi semua hutang Irwandi akan lunas.
“Kita sampai,” kata Samud sambil menancapkan obor ke tanah.
Bukit itu memiliki lapangan yang cukup untuk menaruh lima mobil secara berhimpit. Ada empat tiang dengan atap dari daun pisang. Di sana juga sudah tersedia alat-alat ritual, seperti kembang, ayam cemani, buah-buahan, dan satu ekor kambing. Irwandi mencium bau pekat dari sana yang sepertinya berasal dari bangkai ayam cemani yang tergeletak.
“Nah, ayo kita mulai,” sambungnya.
Samud lantas mengajak Irwandi bersila di dekat pohon beringin besar. Ia kemudian menyalakan dupa sambil berkomat-kamit. Di tengah-tengah lapang itu telah disiapkan sebuah kendi besar serta beberapa buah-buahan mengelilinginya.
Ritual terakhir untuk Irwandi adalah minum air yang telah diberi doa-doa, “Dengan meneguk ini, semua masalahmu akan selesai.”
Ia lantas meminumnya.
Selang beberapa menit, Irwandi terkapar. Tubuhnya rebah menggerayang, tangannya memegang perutnya. Sesuatu bermasalah dari lambungnya. Sakit sekali. Beberapa detik kemudian busa keluar dari mulut Irwandi. Matanya terbelalak menatap kosong pada langit tempat semestinya bintang berada.
Sebuah racun ikan sejenis potas sudah membunuh Irwandi dalam hitungan detik.
Sebelum mati tentu Irwandi masih sempat mengatakan sesuatu. Sebuah pesan untuk anak yang ditinggalkannya. Sebuah pesan yang tidak sanggup ia katakan lewat mulutnya.
“Tidak ada yang peduli terhadap hutang orang kere.”
Sidoarjo, 2023
Bagus Muhammad, penulis adalah pemuda asal Cianjur kelahiran 2000