Ini Ancaman Pidana bagi Kadis PUPR Cianjur

Jika Sejumlah Dugaan Proyek Fiktif dan Bermasalah Sudah Terbukti

Beritacianjur.com – KEPALA Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Cianjur, Dedi Supriadi harus segera diaudit. Tak hanya itu, aparat penegak hukum (APH) pun harus segera turun tangan memeriksa sejumlah dugaan kuat proyek fiktif dan bermasalah di PUPR.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center, Anton Ramadhan. Menurutnya, sebagai pengguna anggaram (PA), kesalahan dan tanggung jawab mutlak ada di Kadis PUPR.

“Dugaan proyek bermasalah di PUPR terbilang banyak, bahkan ada yang diduga fiktif. Jadi mau tunggu apa lagi? Segera harus diperiksa dan ditindak,” ujar Anton kepada beritacianjur.com, Kamis (10/10).

Anton membeberkan, selain permasalahan kasus penebangan ratusan pohon milik Pemkab Cianjur yang tidak mengantongi izin, lima proyek pembangunan rest area pun diduga bermasalah, bahkan ada yang diduga kuat fiktif.

“Ya, ada lima pembangunan rest area yang diduga bermasalah, yaitu di Cidaun, Cikalong, Haurwangi, Naringgul dan Puncak. Nah untuk rest area Puncak, itu diduga fiktif karena wujud fisik bangunannya tidak ditemukan di sepanjang kawasan Puncak,” jelasnya.

Untuk proyek rest area Puncak, sambung Anton, dugaan fiktifnya memang sangatlah kuat. Pasalnya, meski Dinas PUPR berkilah bahwa proyek tersebut tidak fiktif karena sudah dibangun  gerbang/gapura dan pemasangan lampu penerangan jalan umum dengan ornamen hiasan, namun pekerjaan tersebut tetap tidak sesuai dengan nama pekerjaan, yakni rest area.

“Aturan dari mana ketika pada proses pelelangan pekerjaannya rest area, tapi fakta di lapangan pekerjaannya hanya membangun gerbang dan lampu. Sebelumnya ada pekerjaan DED rest area puncak, tapi wujud rest areanya tidak ada. Ini jelas fiktif,” ungkapnya.

Baca Juga  Tambah Lima Alat Berat di Lokasi Longsor, Bupati Cianjur: Pencarian Korban Harus Semaksimal Mungkin

Anton menjelaskan, potensi terjadinya tindak pidana korupsi dari pengadaan barang dapat terjadi mulai tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Berdasarkan UU 31/1999 jo UU 10/2001, lanjut Anton, setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan ke dalam tujuh bentuk tindak pidana korupsi (tipikor).

“Tujuh bentuk tipikor tersebut antara lain merugikan keuangan negara dengan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang,  suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi,” jelasnya.

Anton menambahkan,  kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, pada umumnya para pelaku didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999.

Pasal 2 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 M. (klik laman berikutnya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *