BERITACIANJUR.COM – MASALAH adanya nomor yang sama dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 50 tahun 2019 tentang Penjabaran Perubahan APBD 2019 dan tentang Kelompok Penggerak Wisata, terkuak. Ternyata, dua Perbup yang berbeda tersebut benar-benar kembar alias memiliki nomor yang sama. Kok bisa?
Ya, fakta tersebut diungkapkan langsung Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Cianjur, Muchsin Sidiq Elfatah. Saat ditemui di kantornya, Rabu (10/2/2021) siang, ia mengakui telah terjadi human error sehingga terjadi adanya dua perbup dengan nomor yang sama. Ia juga mengakui, Perbup tentang Kelompok Penggerak Pariwisata belum dilaporkan ke Pemprov Jabar karena baru diubah nomor menjadi 50 A.
“Waktu subuh Pak Asda sudah komunikasi, jadi sudah ada titik temu terkait informasi yang bisa disampaikan. Kami berharap ada masukan seperti ini. Kami akui itu human error, petugasnya saat ini sudah pensiun, ia salah memberikan nomor dalam register, maka solusinya yang untuk pariwisata di 50 A-kan, jadi yang nomor 50 itu tentang APBD,” ujarnya kepada beritacianjur.com.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menilai, dengan terjadinya hal tersebut, maka semakin memperkuat dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh Plt Bupati Cianjur, Herman Suherman.
“Kita perhatikan statement Kabag Hukum, mengakui adanya kesalahan dan berbicara akhirnya ada solusi yang nomor pariwisata menjadi 50 A. Artinya, sebelumnya memang benar memiliki nomor yang sama. Ini sangat janggal dan terkesan dipaksakan. Jangan-jangan, Perbup Nomor 50 tentang APBD itu akal-akalan alias tidak ada. Mentang-mentang yang sedang dipermasalahkan itu soal APBD, akhirnya perbup tentang pariwisata yang diubah nomornya,” ungkapnya.
Ia menduga, perbup di Cianjur ini dibuat asal jadi disusun dengan menggunakan keilmuan ‘simsalabim abracadabra’, tambal sulam dan tiba masa tiba akal. “Ini sudah sangat fatal dan penyelewengannya sudah sangat kuat. Selain kami akan mendatangi BPK RI perwakilan Jawa Barat dan Bagian Hukum Pemprov Jabar, kami juga berharap aparat penegak hukum segera turun tangan,” tegasnya.
Ia memaparkan, sebuah perbup terlahir melalui proses, mulai dari perencanaan penyusunan, pembahasan, fasilitas atau evaluasi, penomoran dan pengundangan, serta pembatalan perda yang semuanya harus berbukti dan punya jejak administrasi persuratan atau naskah dinas dan produk hukum daerah yang tak bisa dibohongi dan tak boleh dikadalin.
Lebih jauh Anton menerangkan, untuk menelusuri jejak kebenaran dan menguji keabsahan atas keberadaan perbup sehingga bisa terlihat mana perbup yang benar dan betul, dan mana perbup yang penuh rekayasa dan kebohongan serta penyimpangan, sangatlah sederhana. Produk hukum daerah baik itu Perda, Perbup atau Peraturan DPRD secara aturan harus menggunakan angka bulat untuk penomoran. Menurutnya, nomor bulat pada perda/perbup tidak dapat ditambahkan dengan huruf a, b, c, d, e dan seterusnya atau A, B, C, D, E dan seterusnya.
“Jadi kalau ditemukan perda atau perbup misalnya bernomor 1 A , maka diduga kuat bahwa perda atau perbup tersebut menggunakan jurus jurus simsalabim abrakadabra, penuh rekayasa dan cacat hukum,” terangnya
Untuk menguji jejak kebenaran dan menguji keabsahan keberadaan perbup, sambung Anton, pada proses dan tahapan penomoran dan pengundangan, dibuktikan memeriksa keberadaan perbup pada registrasi penomoran dan pengundangan pada biro hukum atau bagian hukum teliti dengan penomoran, cek penggunaan nomor bulat atau ditambahkan huruf, serta teliti kesesuaian tanggal dengan waktu atas penetapan perbup dengan tanggal penetapan dan pengundangan peraturan perundangan-undangan sebagai dasar kuasa atau perintah pembentukan perbup.(gie)