Beritacianjur.com – DUGAAN adanya pungutan liar (pungli) di Kampung Wisata Padi Pandanwangi dan dugaan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) fiktif yang dilakukan Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga (Disparpora) Cianjur, menjadi sorotan sejumlah kalangan.
Bahkan, Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC) dan Masyarakat Peduli Cianjur (MPC) mendorong agar aparat penegak hukum agar segera mengusut tuntas berbagai pelanggaran dan kejanggalan yang terjadi.
Terkait pungli, Direktur CRC, Anton Ramadhan menilai, dugaannya sudah sangat kuat melihat banyaknya pengakuan dari sejumlah warga yang pernah berkunjung ke Kampung Wisata Padi Pandanwangi Bunikasih-Tegalega Cianjur.
“Meski tak ada tiket, namun pengunjung ditarif Rp5.000 per orang. Pihak Disparpora juga mengakui adanya pungutan tersebut, walaupun membantah bukan pihaknya yang melakukan. Ini jelas-jelas ada pungli dan harus segera diusut dan ditindak,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Minggu (12/1/2020).
Anton menegaskan, pada tahun anggaran 2017, 2018 dan 2019, total anggaran yang sudah dihabiskan Pemkab Cianjur untuk pembangunan Kampung Wisata Padi Pandanwangi sebesar Rp8.717.333.600. Sedangkan di tahun 2020, dialokasikan anggaran sebesar Rp2.291.800.000.
“Anggaran untuk pembangunannya cukup besar. Seharusnya semua prosesnya melalui kajian terlebih dahulu, agar jangan sampai uang Negara yang dihabiskan jauh lebih besar daripada potensi pendapatan yang diterima oleh daerah. Atau jangan sampai juga, anggaran besar dihabiskan, tapi malah dibiarkan adanya pungutan liar,” ungkapnya.
“Disparpora mengakui adanya pungutan walaupun membantah bukan pihaknya yang melakukan. Nah, aparat harus mengusutnya. Apa benar pihak Disparpora hanya melakukan pembiaran? Atau malah dibiarkan karena ada pemasukan?” sambungnya.
Tak hanya pungli, sambung Anton, Disparpora juga diduga melakukan laporan fiktif. Hal tersebut mengacu kepada LKjIP Disparpora tahun anggaran 2018.
“Dalam laporannya, Disparpora menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan di seluruh tempat objek wisata di Cianjur. Pertanyaannya, bisa tahu dari mana Disparpora terkait jumlah kunjungan ketika di sejumlah tempat wisata tak ada tiket dan tak ada petugas yang mengawasi. Waktu ditanya soal pungli kan Disparpora berkilah tidak tahu karena tak ada petugas, kenapa soal jumlah kunjungan bisa tahu?” ujarnya.
Dari sekian banyak tempat wisata, Anton menyontohkan data terkait jumlah kunjungan wisatawan ke Hutan Kota Cianjur (Hukoci). Sejak awal tahun 2018, sambung Anton, Hukoci tidak lagi dikelola bahkan dibiarkan rusak serta tidak ada petugas yang bertugas di tempat wisata tersebut.
“Ini kan jelas-jelas aneh, atas dasar apa Disparpora bisa menyebutkan bahwa sepanjang 2018 wisatawan yang berkunjung ke Hukoci mencapai 9.379 pengunjung? Dugaan laporan fiktifnya sudah sangat kuat,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua MPC, Jajang Supardi menegaskan, persoalan dugaan pungli dan adanya dugaan laporan fiktif merupakan masalah serius yang harus segera ditindak karena berpotensi menimbulkan kerugian Negara.
“CRC pernah memaparkan, pada laporan Disparpora, kunjungan ke Pandangwangi pada tahun 2018 mencapai 35.360 pengunjung. Jika jumlah tersebut dikalikan tarif Rp5.000, maka jumlah punglinya sebesar Rp176.800.000. Nah ketika ada pengakuan hal tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun (2017 s/d 2019) dan jika dirata-ratakan per tahunnya Rp150 juta, maka kerugian Negaranya mencapai Rp450 juta,” katanya.
“Bayangkan, temuannya baru ada di Pandanwangi, bukan tidak mungkin ini juga terjadi di tempat wisata lainnya. Maka kami berharap, melalui banyaknya pemberitaan ini, aparat penegak hukum harus segera reaktif dan mengusut tuntas semuanya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga (Disparpora) Cianjur buka suara, terkait adanya pungutan retribusi Rp5 ribu per orang tanpa tiket atau karcis, di Kampung Wisata Padi Pandanwangi Bunikasih-Tegalega Cianjur.
Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Disparpora Cianjur, Enung Sri Hayati mengklaim, pihak yang memungut tarif tanpa tiket di Wisata Pandanwangi bukan Disparpora, namun dari Komite Penggerak Pariwisata (Kompepar).
“Kalau sebelum tahun 2020, memang belum ada pemberlakuan tiket, ada tiket itu mulai awal tahun. Jadi yang sebelumnya ada pemungutan itu bukan dari Disparpora, namun kalau tidak salah itu dari Kompepar. Katanya sih itu uang biaya kebersihan,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Rabu (8/1/2019).
Anehnya, meski Enung mengakui jika terdapat pungutan tarif retribusi tanpa disertai tiket termasuk pungutan liar, namun pihak Disparpora tak mencegah hal tersebut terjadi. Pasalnya, Enung menyebutkan pihak Kompepar yang melakukan pungutan tanpa tiket ada koordinasi ke pihak Disparpora. “Iya, pihak Kompepar ada koordinasi ke kita,” ucapnya.
Pernyataan berbeda saat wartawan menanyakan terkait pencegahan adanya pungli, Enung mengatakan, pihaknya tak bisa melakukan pengawasan karena tak ada petugas Disparpora yang standby di lokasi.
“Soal pencegahan itu kita antisipasi menempatkan orang di sana mulai awal tahun. Sebelumnya kan kita lagi membangun, yang jaga cuma pihak kontraktor. Jadi, kalau ada inisiatif dari orang situ melakukan pemungutan, kita gak tahu. Dari kita memang ada pengawasan, tapi tidak standby,” jelasnya.
Menanggapi tudingan tersebut, Wakil Ketua Kompepar Cianjur, Dadan langsung membantahnya. “Awalnya memang Kompepar yang turut mengelola di sana, tapi kalau tidak salah sejak awal 2018 sudah bukan oleh kami, bahkan ketua Kompepar di Desa Tegalega juga sampai mengundurkan diri karena ada gesekan dengan pihak lain di sana,” katanya.(gie)