BERITACIANJUR.COM – KEJANGGALAN demi kejanggalan dalam dugaan korupsi APBD Cianjur Tahun Anggaran (TA) 2019 terus bermunculan. Mulai dari anggaran yang ujug-ujug naik puluhan miliar rupiah tanpa diketahui DPRD Cianjur, hingga adanya dua peraturan bupati yang memiliki nomor yang sama.
Kali ini, Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC) mengungkap satu demi satu kejanggalan yang semakin menguatkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang diduga kuat dilakukan oleh Plt Bupati Cianjur, Herman Suherman.
Sebelum berkisah perjalanan dugaan adanya rekayasa APBD Cianjur TA 2019, Direktur CRC, Anton Ramadhan mengajak semua pihak untuk berpikir secara kritis memakai logika. Jika Plt Bupati Cianjur atau sejumlah pejabat Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Cianjur merasa bahwa semua pemberitaan dugaan korupsi APBD ini tidak benar, sambung Anton, seharusnya orang nomor satu di Cianjur beserta para punggawanya bisa dengan mudah membantah atau memberikan penjelasan, dan bukan malah menutup mulutnya rapat-rapat alias bungkam.
“Logika sederhana, kenapa harus bungkam jika dugaan korupsinya tidak benar? Ini yang terjadi malah tidak ada bantahan sama sekali. Semua itu semakin memperkuat adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang diduga kuat melibatkan Plt Bupati Cianjur,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Jumat (12/2/2021).
Anton memaparkan, sedikitnya terdapat 6 kejanggalan yang terjadi pada dugaan korupsi APBD TA 2019. Pertama, kata dia, adanya penambahan anggaran pada pos belanja dan pendapatan yang kenaikannya masing-masing mencapai hampir Rp43 M tanpa dibahas terlebih dahulu bersama DPRD Cianjur atau tanpa persetujuan para wakil rakyat.
“Kejanggalan ini diperkuat adanya statement dari sejumlah dewan, salah satunya dari ketua Faksi PKB, Dedi Suherli. Kata dia, selama pembahasan APBD 2019 hanya terdapat 2 agenda pembahasan, yakni APBD Murni dan APBD Perubahan. Di luar itu tidak ada lagi agenda pembahasan untuk mengubah atau menambah anggaran,” sebutnya.
Kedua, adanya perubahan atau lahirnya Perbup Nomor 82 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Peraturan Bupati Nomor 50 tahun 2019 tentang Penjabaran Perubahan APBD TA 2019 tanpa menempuh mekanisme yang benar. Menurutnya setelah Perda Perubahan APBD 2019 ditetapkan oleh DPRD dan disusul Penerbitan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD 2019, TAPD menyusun dan melakukan perubahan terhadap Perbup Penjabaran APBD dengan alasan adanya Pergeseran Anggaran. Dalam Perbup penjabaran Perubahan APBD yang baru tersebut, sambung dia, alokasi anggaran pendapatan dan alokasi anggaran belanja APBD-P 2019 yang sudah ditetapkan bersama DPRD, diubah dengan melakukan penambahan anggaran pada pos pendapatan dan belanja di sejumlah pos anggaran.
Ketiga, logika waktu penambahan anggaran dan pelaksanaan kegiatan belanja barang dan jasanya. Ia menyebutkan, perbup penjabaran APBD tersebut ditetapkan pada 20 November 2021. Pertanyaannya, jika dihitung dengan proses kegiatan belanja barang dan jasanya, apakah bisa dengan penambahan anggaran mencapai puluhan miliar tersebut, semua kegiatannya selesai atau semua anggarannya bisa terserap?
“Ini sangat janggal. Sepertinya kecil kemungkinan jika waktu sesingkat itu dan anggaran sebesar itu bisa terserap. Terkesan dipaksakan. Lebih aman jika digeser ke APBD Murni 2020. Logika saja, perbupnya saja baru ditetapkan akhir November, bagaimana masih ada waktu lagi untuk melaksanakan kegiatan dan menyerap anggarannya?” sebutnya.
Keempat, adanya dua perbup yang memiliki nomor sama, yakni Perbup Nomor 50 tahun 2019 tentang Penjabaran Perubahan APBD 2019 dan Perbup Nomor 50 tentang Kelompok Penggerak Wisata. Lebih anehnya lagi, lanjut Anton, ketika fakta atau keanehan tersebut telah terkuak, Bagian Hukum Setda Cianjur buru-buru mengubah perbup tentang pariwisata menjadi 50 A agar berbeda dengan perbup tentang APBD.
“Ini benar-benar fakta karena diakui langsung oleh Bagian Hukum. Selain mengakui adanya human error hingga terjadi adanya nomor perbup yang sama, Bagian hukum juga mengakui mengubah nomor perbup dan mengakui perbup tersebut belum dilaporkan ke Pemprov Jabar,” ungkapnya.
Kelima, perubahan nomor perbup tidak menggunakan angka bulat. Tak hanya dari hasil analisis CRC, ternyata Peneliti Senior pada Pusat Pengkajian Keuangan Negara & Daerah Universitas Patria Artha Makasar, Dr Yusran Lapananda SH MH pun memiliki analisis dan pendapat yang sama dengan Anton, yakni produk hukum daerah baik itu perda, perbup atau peraturan DPRD secara aturan harus menggunakan angka bulat untuk penomoran. Nomor bulat pada perda/perbup tidak dapat ditambahkan dengan huruf a, b, c, d, e dan seterusnya atau A, B, C, D, E dan seterusnya.
“Jadi kalau ditemukan perda atau perbup misalnya bernomor 1 A , maka diduga kuat bahwa perda atau perbup tersebut menggunakan jurus jurus simsalabim abrakadabra, penuh rekayasa dan cacat hukum,” terang Anton.
Keenam, adanya perbedaan redaksional pada Perbup Nomor 82 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perbup Nomor 50 tahun 2019 tentang penjabaran perubahan APBD 2019. Di pasal 2, kalimat atau redaksionalnya Ringkasan Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada pasal 1 tercantum dalam lampiran 1. Sementara dalam lampiran 1, redaksionalnya menjadi Ringkasan Penjabaran Pergeseran APBD. Ada perbedaan atau penambahan kata pergeseran.
“Semua fakta dan kejanggalan-kejanggalan tersebut sudah sangat jelas dan semakin memperkuat adanya dugaan rekayasa atau korupsi APBD yang diduga kuat melibatkan Plt Bupati Cianjur. Jadi, fakta mana lagi yang kau dustakan? Selain CRC akan mendatangi BPKRI Perwakilan Jabar dan Bagian Hukum Pemprov Jabar, kami juga mendorong agar aparat penegak hukum segera turun tangan. Usut hingga tuntas,” pungkasnya.(gie)