Rapid Test Massal Gencar Dilakukan, Barang dan Anggarannya dari Mana?

Ternyata, Dinkes Cianjur Pinjam Rapid Test dari Rumah Sakit

Beritacianjur.com – KINERJA Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur yang dinilai lamban dalam penanganan Covid-19 masih terus disoroti. Selain adanya dugaan penyimpangan anggaran Covid-19, kini muncul penilaian bahwa sejumlah penjelasan Kepala Dinkes Cianjur tak sesuai dengan fakta di lapangan. Benarkah?

Ya, dugaan dan penilaian tersebut dilontarkan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan kepada beritacianjur.com, Selasa (19/5/2020).

Menurutnya, selama ini, semua penjelasan Kepala Dinkes Cianjur, Tresna Gumilar baik kepada wartawan maupun saat rapat bersama DPRD Cianjur, tak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan khususnya mengenai rapid test.

Dalam beberapa sesi rapat bersama para wakil rakyat Cianjur, sambung Anton, Tresna selalu sesumbar bahwa tak perlu melakukan pengadaan rapid test di Cianjur. Terbukti dalam 2 kali pencairan Belanja Tidak Terduga untuk kegiatan tanggap darurat bencana wabah penyakit akibat Covid-19, tak ada peruntukkan pengadaan rapid test.

Berdasarkan data yang diperoleh CRC, pencairan pertama dilakukan tanggal 20 Maret 2020 senilai Rp1.025.341.000 sumber anggaran dari Dana Alokasi Umum, berdasarkan SP2D No. 01393/LS/BPKAD/2020 tanggal 20 Maret 2020. Sedangkan pencairan kedua dilakukan tanggal 5 Mei 2020 senilai Rp 8.273.676.000 sumber anggaran dari SILPA, berdasarkan SP2D No. 02445/TU/BTT/2020 tanggal 5 Mei 2020.

Namun anehnya, belakangan ini Dinkes Cianjur gencar melakukan rapid test massal di sejumlah tempat. Terbaru di Pasar Induk Cianjur (PIC) Pasir Hayam pada Senin (18/5/2020), serta sebelumnya di Bojongmeron Walk City.

“Pertanyaannya, dari mana anggarannya? Dari mana Dinkes Cianjur mendapatkan rapid test tersebut? Kalau semua itu bersumber dari bantuan, seharusnya Kepala Dinkes Cianjur tak perlu mengatakan bahwa tak perlu rapid test dong. Jika sekarang gencar dilakukan rapid test massal,  berarti rapid test itu penting. Lalu kenapa tak direncanakan dan dibelanjakan?” paparnya.

Baca Juga  Eng Ing Eng! Pasien Dicovidkan, Ini Dugaan Permainan RS Klaim Biaya Perawatan Pasien Covid-19

Parahnya, Anton mengaku sempat berkomunikasi dengan Sekretaris Dinkes Cianjur, dr Irvan Nur Fauzy belum lama ini, terkait tentang rencana Pemkab Cianjur akan melakukan pengadaan rapid test sebanyak 18.000 buah seperti yang dijanjikan oleh Plt Bupati Herman Suherman. Menurutnya, Irvan yang saat itu dihubungi melalui telepon seluler mengatakan bahwa kepala Dinas Kesehatan tidak mau menandatangani surat pengajuan pembelian rapid test. Soal rapid test  yang digunakan untuk rapid test massal, menurut Irvan itu merupakan pinjaman dari rumah sakit di Cianjur.

“Ini sudah jelas bahwa kinerja Dinkes Cianjur itu tanpa perencanaan yang matang. Masa kegiatan rapid test massal alatnya hasil pinjaman dari rumah sakit sih? Memang rumah sakit tidak memerlukan? Jelas-jelas ngawur dan tanpa perencanaan. Informasi soal pinjam rapid test ke rumah sakit ini bukan hanya dari sekdis saja, namun ada sumber lain di lingkungan Dinas Kesehatan Cianjur juga mengungkapkan hal yang sama,” tegasnya.

Anton menambahkan, permasalahan di Dinkes Cianjur sudah sangat banyak dan fatal, alhasil ia berharap aparat penegak hukum (APH) segera mengusut berbagai dugaan penyimpangan.

Sebelumnya, Anton merasa heran dengan sikap Dinkes Cianjur yang enggan memberikn data terkait pengelolaan anggaran Covid-19. Padahal menurutnya hal tersebut merupakan informasi publik dan masyarakat berhak tahu.

Apalagi, sambung Anton, berdasarkan Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020, untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, KPK merekomendasikan untuk mengadministrasikan segala bentuk sumbangan serta mempublikasikan kepada masyarakat termasuk penggunaannya.

“Jadi heran kalau Dinkes Cianjur enggan memberikan data anggaran corona termasuk soal penggunaan dan penyalurannya. Ini jelas tidak transparan dan terkesan menutup-nutupi,” jelasnya.

Anton menegaskan, sikap Dinkes Cianjur tersebut semakin menguatkan dugaan adanya penyimpangan atau mark up dalam penyusunan Rencana Kebutuhan Belanja (RKB). “Logika saja, kalau tidak bermasalah kenapa enggan memberikan data, itu kan informasi publik,” katanya.

Baca Juga  Dukung Kemajuan UMKM, Herman Suherman Buru Aneka Takjil Ramadan Khas Cianjur

Tak hanya itu, ia juga menyatakan, akibat keterlambatan penanganan dan adanya indikasi penyimpangan anggaran Covid-19, sejumlah pejabat Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur terancam pidana mati. Menurutnya, dugaan penyimpangan dan potensi ancaman pidana tersebut dilihat dari lambatnya pergerakan yang dilakukan Dinkes Cianjur dalam melakukan penanganan corona.

Bukti lambannya kinerja pihak Dinas Kesehatan dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengebalan terhadap masyarakat yang mempunyai resiko terkena Covid-19, menurut Anton terlihat dari minimnya jumlah alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis sesuai dengan standar Kementerian Kesehatan yang  bertugas di rumah sakit maupun puskesmas, serta diperparah dengan terbatasnya jumlah alat dan logistik kesehatan seperti viral transfer media, rapid diagnostic test  dan ventilator.

“Saat ini masih banyak petugas medis yang mengeluhkan minimnya APD dan logistik kesehatan seperti rapid diagnostic test rapid. Anehnya, tanpa rasa bersalah dan malu, kondisi tersebut diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan saat rapat kerja Dinkes dengan Komisi D DPRD belum lama ini. Saat itu Kadis mengatakan kalau untuk setiap puskesmas pihaknya baru menyediakan sebanyak 20 alat rapid test,” katanya.

Anton juga mengaku miris dengan kelakuan pejabat Dinas Kesehatan Cianjur. Pasalnya CRC menemukan penyebab lambannya penanganan dan pencegahan Covid-19, serta minimnya logistik kesehatan seperti APD bagi tenaga medis ini merupakan sebuah kesengajaan yang dilakukan segelintir pejabat Dinkes. Ini terlihat dari belum dilaksanakannya sebagian besar kegiatan pencegahan dan penanganan Covid-19 yang anggarannya Rp8.273 miliar dari Belanja Tak Terduga (BTT) tahap 2, padahal anggaran tersebut sudah dicairkan oleh Dinkes sejak tanggal 5 Mei 2020.

“Dari informasi yang kami terima, sejak tanggal 5 Mei lalu uang untuk kegiatan penanggulangan Covid yang sumbernya dari BTT senilai Rp8,273 miliar sudah cair dan berada di rekening bendahara Dinas Kesehatan, tapi sampai hari ini sebagian besar kegiatannya belum dilaksanakan. Padahal sudah jelas kondisi di lapangan saat ini sangat membutuhkan tambahan logistik, kok kenapa Kadis dan pejabat Dinkes malah santai-santai saja?” ungkapnya.

Baca Juga  Innalillahi, Dunia Pers Cianjur Berduka, Selamat Jalan Kawan

Apabila para pejabat Dinkes Cianjur terbukti secara sengaja melakukan pembiaran dengan tidak melakukan upaya pencegahan corona, Anton menegaskan, mereka bisa dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Pasal 14 ayat 1 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000. Sementara pada ayat 2 disebutkan, barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000.

Selain secara sengaja melakukan pembiaran dan lambat dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan, sambung Anton, sejumlah pejabat Dinkes Cianjur terindikasi melakukan penyimpangan pengelolaan anggaran bencana Covid-19, yakni diduga melakukan mark up dalam penyusunan Rencana Kebutuhan Belanja (RKB). Untuk itu CRC berharap aparat penegak hukum (APH) untuk mengusut dugaan penyimpangan di Dinkes Cianjur.

“Kami menemukan adanya indikasi mark up harga sejumlah item barang yang dianggarkan dalam rencana kebutuhan belanja, bahkan ada yang lebih dari 200%. Ingat, KPK sudah menegaskan akan memberikan hukuman tegas bagi pelaku korupsi terkait anggaran penanganan corona. Tak tanggung-tanggung, KPK menuntut dengan hukuman mati, hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Alhasil, jika penyimpangan di Dinkes Cianjur ini sudah terbukti, maka terancam pidana mati,” tutupnya.(gie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *