BERITACIANJUR.COM – LEBIH dari setengah triliun rupiah. Itulah dugaan penyimpangan atau potensi kerugian pada dugaan korupsi APBD tahun anggaran 2019 yang diduga kuat melibatkan Plt Bupati Cianjur, Herman Suherman. Benarkah?
Data tersebut diungkap Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan. Menurutnya, penyimpangan dengan nilai fantastis tersebut terjadi sebanyak dua kali, yakni sebelum dan sesudah perubahan APBD tahun anggaran 2019.
“Sebelum perubahan APBD, kejanggalan atau potensi kerugian Negaranya sebesar Rp488 M. Sementara pada akhir tahun atau setelah perubahan APBD sebesar Rp42,9 M. Jadi totalnya sekitar Rp530,9 M. Ini angka yang sangat luar biasa, lebih dari setengah triliun rupiah,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Selasa (24/2/2021).
Anton menegaskan, angka kerugian fantastis tersebut dinilai penyimpangan dikarenakan diduga kuat tidak ditempuh dengan mekanisme APBD atau sudah menyalahi aturan perundang-undangan.
“Kami punya bukti. Data dan dokumennya juga lengkap. Dugaan korupsinya sudah sangat jelas dan dugaan keterlibatan bupatinya juga sudah sangat kuat,” ucapnya.
Menanggapi masih bungkamnya Plt Bupati dan sejumlah pejabat Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Cianjur meski dugaan korupsinya sudah ramai diberitakan, Anton menilai, aksi tutup mulut rapat-rapat tersebut semakin memperkuat dugaan penyimpangannya.
“Logika saja, jika pemberitaan-pemberitaan dugaan korupsi ini dianggap tidak benar, harusnya Plt Bupati atau pejabat lainnya langsung berupaya membantah dan menjelaskan fakta sebenarnya kepada publik,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, apapun alasannya, baik pergeseran anggaran maupun perubahan anggaran, bertambah ataupun berkurang sebelum perubahan APBD dan atau dilakukan mendahului perubahan APBD dengan persetujuan pimpinan DPRD atau Badan Anggaran DPRD, hal itu merupakan praktik yang merugikan keuangan negara/daerah dan dalam perspektif hukum pidana masuk pada kejahatan korupsi.
Hal tersebut dikatakan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan. Menurutnya, jika ada daerah otonom yang mengeluarkan kebijakan pergeseran APBD sebelum perubahan APBD yang diduga kuat terjadi di Cianjur, maka ada tiga kemungkinan yang terjadi.
Pertama, sambung Anton, kepala daerah ingin menampung pagu anggaran (memperbesar) pada kegiatan awal yang dinilai terlalu sedikit, untuk kepentingan pribadi dengan kompensasi fee 10-15 persen dengan cara menggeser kegiatan dan anggaran antara unit organisasi. Kedua, kepala daerah ingin memutuskan atau menyerahkan pekerjaan itu dikerjakan oleh mitra bisnis yang mempermudah transaksi fee proyek tersebut.
“Lalu yang ketiga, kepala daerah berkeinginan proyek tersebut tidak dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan seperti tim sukses dan lainnya,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Senin (22/2/2021)
Anton menambahkan, terdapat 5 potensi modus yang dilakukan, antara lain, pelaksanaan tender bersifat formalitas dan yang menang mitra bisnis, tim sukses dan pihak lainnya; kegiatan pekerjaan yang mudah dikerjakan seperti penimbunan, drainase, pembukaan jalan baru, pembuatan badan jalan, pengadaan barang-barang bergerak yang mudah dikerjakan, atau alat-alat kesehatan; bantuan sosial; semua dilakukan awal tahun sampai pertengahan tahun (Februari s/d Agustus); dan yang terakhir DPRD dijadikan alat untuk legalisasi dengan kompensasi presentasi fee yang dibayarkan di muka.
“Praktik pengelolaan APBD seperti dijelaskan di atas adalah bentuk pembobolan keuangan negara atau daerah dengan berlindung dalam kewenangan sewenang-wenang sebagai kepala daerah, dan kewenangan sebagai anggota badan anggaran atau pimpinan DPRD sesuai ketentuan perundang-undangan,” pungkasnya.(gie)