BERITACIANJUR.COM – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur terus berupaya menekan angka prevalensi (persentase total kasus, red) stunting. Upayanya dilakukan cukup masif melalui intervensi spesifik maupun intervensi sensitif.
Hal tersebut dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur, I Made Setiawan. Menurutnya, salah satu yang menjadi fokus perhatian dan penanganannya yaitu 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Pada fase ini, bayi membutuhkan asupan gizi atau nutrisi yang cukup.
“Stunting biasanya mulai terbentuk ketika bayi tidak memperoleh asupan gizi yang memadai sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun. Masa ini dikenal sebagai periode emas atau golden age, yakni fase pertumbuhan otak dan tubuh berlangsung sangat pesat,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Jika kebutuhan gizi tidak tercukupi pada fase tersebut, sambung dia, maka dampaknya bersifat jangka panjang dan sulit diperbaiki di kemudian hari.
Sebagaimana diketahui, stunting merupakan kondisi yang disebabkan kekurangan gizi dalam jangka waktu yang cukup lama. Kondisi ini bisa menghambat perkembangan otak sekaligus pertumbuhan anak.
Penderita stunting biasanya memiliki ukuran tubuh lebih pendek. Kekurangan gizi yang dialami sejak dini membuat balita yang mengalami stunting tumbuh dengan tinggi badan di bawah rata-rata seusianya.
Namun, penting juga dipahami, tidak semua anak bertubuh pendek dapat dikategorikan mengalami stunting. Perbedaan mendasar terletak pada faktor penyebab dan durasi kekurangan gizi yang dialami anak.
Bagi Kabupaten Cianjur, stunting merupakan permasalahan yang harus dituntaskan. dan memang bukan perkara mudah mengimplementasikannya.
Made menegaskan, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi daerah seperti Kabupaten Cianjur. Peningkatan akses terhadap makanan bergizi, layanan kesehatan ibu dan anak, serta pendampingan keluarga menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan.
Stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan, melainkan masalah kompleks yang menyangkut kualitas sumber daya manusia di masa depan. Apabila tidak ditangani dengan serius, generasi yang lahir dengan kondisi ini berisiko memiliki keterbatasan dalam aspek pendidikan, produktivitas, bahkan ketahanan ekonomi.
“Oleh karena itu, komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga sangat dibutuhkan agar masalah ini dapat ditekan dan generasi mendatang tumbuh lebih sehat serta berkualitas,“ pungkasnya.(gil)










