Beritacianjur.com – AKIBAT keterlambatan penanganan dan adanya indikasi penyimpangan anggaran Covid-19, sejumlah pejabat Dinas Kesehatan (Dinkes) Cianjur terancam pidana mati. Benarkah?
Hal tersebut disampaikan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC) Anton Ramadhan. Menurutnya, dugaan penyimpangan dan potensi ancaman pidana tersebut dilihat dari lambatnya pergerakan yang dilakukan Dinkes Cianjur dalam melakukan penanganan corona.
Anton memaparkan, saat ini angka Pasien Dalam Pengawasan dan Orang Dalam Pengawasan (ODP) meninggal di Cianjur cukup banyak. Dari 57 orang PDP, sambung dia, meninggal 15 orang. Sementara ODP yang meninggal sebanyak 6 orang dari total 793 ODP.
“Sedangkan pasien positif corona yang meninggal ada 1 orang. Salah satu yang meninggal itu ada dokter atau tenaga medis. Saya pikir, jika sejak awal pihak Dinas Kesehatan melakukan penanganan secara cepat dan sesuai dengan aturan protokol, angka PDP atau ODP di Cianjur kemungkinan akan bisa ditekan,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Kamis (4/5/2020).
Bukti lambannya kinerja pihak Dinas Kesehatan dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengebalan terhadap masyarakat yang mempunyai resiko terkena Covid-19, menurut Anton terlihat dari minimnya jumlah alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis sesuai dengan standar Kementerian Kesehatan yang bertugas di rumah sakit maupun puskesmas, serta diperparah dengan terbatasnya jumlah alat dan logistik kesehatan seperti viral transfer media, rapid diagnostic test dan ventilator.
“Saat ini masih banyak petugas medis yang mengeluhkan minimnya APD dan logistik kesehatan seperti rapid diagnostic test rapid. Anehnya, tanpa rasa bersalah dan malu, kondisi tersebut diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan saat rapat kerja Dinkes dengan Komisi D DPRD belum lama ini. Saat itu Kadis mengatakan kalau untuk setiap puskesmas pihaknya baru menyediakan sebanyak 20 alat rapid test,” katanya.
Anton juga mengaku miris dengan kelakuan pejabat Dinas Kesehatan Cianjur. Pasalnya CRC menemukan penyebab lambannya penanganan dan pencegahan Covid-19, serta minimnya logistik kesehatan seperti APD bagi tenaga medis ini merupakan sebuah kesengajaan yang dilakukan segelintir pejabat Dinkes. Ini terlihat dari belum dilaksanakannya sebagian besar kegiatan pencegahan dan penanganan Covid-19 yang anggarannya Rp8.273 miliar dari Belanja Tak Terduga (BTT) tahap 2, padahal anggaran tersebut sudah dicairkan oleh Dinkes sejak tanggal 5 Mei 2020.
“Dari informasi yang kami terima, sejak tanggal 5 Mei lalu uang untuk kegiatan penanggulangan Covid yang sumbernya dari BTT senilai Rp8,273 miliar sudah cair dan berada di rekening bendahara Dinas Kesehatan, tapi sampai hari ini sebagian besar kegiatannya belum dilaksanakan. Padahal sudah jelas kondisi di lapangan saat ini sangat membutuhkan tambahan logistik, kok kenapa Kadis dan pejabat Dinkes malah santai-santai saja?” ungkapnya.
Apabila para pejabat Dinkes Cianjur terbukti secara sengaja melakukan pembiaran dengan tidak melakukan upaya pencegahan corona, Anton menegaskan, mereka bisa dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Pasal 14 ayat 1 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000. Sementara pada ayat 2 disebutkan, barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000.
Selain secara sengaja melakukan pembiaran dan lambat dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan, sambung Anton, sejumlah pejabat Dinkes Cianjur terindikasi melakukan penyimpangan pengelolaan anggaran bencana Covid-19, yakni diduga melakukan mark up dalam penyusunan Rencana Kebutuhan Belanja (RKB). Untuk itu CRC berharap aparat penegak hukum (APH) untuk mengusut dugaan penyimpangan di Dinkes Cianjur.
“Kami menemukan adanya indikasi mark up harga sejumlah item barang yang dianggarkan dalam rencana kebutuhan belanja, bahkan ada yang lebih dari 200%. Ingat, KPK sudah menegaskan akan memberikan hukuman tegas bagi pelaku korupsi terkait anggaran penanganan corona. Tak tanggung-tanggung, KPK menuntut dengan hukuman mati, hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Alhasil, jika penyimpangan di Dinkes Cianjur ini sudah terbukti, maka terancam pidana mati,” tegasnya.
Berdasarkan data yang diperoleh CRC, Dinkes Cianjur sudah melakukan 2 kali pencairan Belanja Tidak Terduga untuk kegiatan tanggap darurat bencana wabah penyakit akibat Covid-19. Pencairan pertama dilakukan tanggal 20 Maret 2020 senilai Rp1.025.341.000 sumber anggaran dari Dana Alokasi Umum, berdasarkan SP2D No. 01393/LS/BPKAD/2020 tanggal 20 Maret 2020. Sedangkan pencairan kedua dilakukan tanggal 5 Mei 2020 senilai Rp 8.273.676.000 sumber anggaran dari SILPA, berdasarkan SP2D No. 02445/TU/BTT/2020 tanggal 5 Mei 2020.
Untuk pencairan kedua, berdasarkan surat Dinas Kesehatan No.900/1469/Dinkes/2020 Tanggal 22 April 2020, anggaran tersebut digunakan untuk 12 Kegiatan yaitu:
Sementara itu, saat dikonfirmasi langsung terkait semua dugaan tersebut, Kepala Dinkes Cianjur, Tresna Gumilar tak banyak komentar. Ia hanya menegaskan akan mengecek terlebih dahulu terkait sejumlah pertanyaan yang diajukan wartawan.(gie)