Soal Jumlah Kunjungan Wisatawan, Disparpora Diduga Bikin Laporan Fiktif

Beritacianjur.com – TAK hanya diduga lakukan pembiaran terjadinya pungutan liar (pungli) retribusi wisata mencapai ratusan juta rupiah, namun Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga (Disparpora) Cianjur juga diduga membuat Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) fiktif.

Hal tersebut dilontarkan Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan kepada beritacianjur.com, Kamis (9/1/2020). Menurutnya, dugaan fiktif tersebut mengacu kepada LKjIP Disparpora tahun anggaran 2018.

“Dalam laporannya, Disparpora menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan di seluruh tempat objek wisata di Cianjur. Pertanyaannya, bisa tahu dari mana Disparpora terkait jumlah kunjungan ketika di sejumlah tempat wisata tak ada tiket dan tak ada petugas yang mengawasi. Waktu ditanya soal pungli kan Disparpora berkilah tidak tahu karena tak ada petugas, kenapa soal jumlah kunjungan bisa tahu?” ujarnya.

Dari sekian banyak tempat wisata, Anton menyontohkan data terkait jumlah kunjungan wisatawan ke Hutan Kota Cianjur (Hukoci). Sejak awal tahun 2018, sambung Anton,  Hukoci tidak lagi dikelola bahkan dibiarkan rusak serta tidak ada petugas yang bertugas di tempat wisata tersebut.

“Ini kan jelas-jelas aneh, atas dasar apa Disparpora bisa menyebutkan bahwa sepanjang 2018 wisatawan yang berkunjung ke Hukoci mencapai 9.379 pengunjung? Dugaan laporan fiktifnya sudah sangat kuat,” ungkapnya.

Anton menegaskan, berbagai kejanggalan baik persoalan dugaan pungutan liar yang menimbulkan kerugian negara mencapai juta rupiah, maupun laporan fiktif, harus segera ditindaklanjuti dan diusut tuntas.”Sudah diduga melakukan pembiaran pungli, sekarang diduga lakukan adanya laporan fiktif. Ini tak bisa dibiarkan, harus diusut sampai tuntas,” tegasnya.

Sementara itu, terkait tudingan Disparpora yang menyebutkan pihak Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) yang melakukan pungutan tanpa tiket di Kampung Wisata Padi Pandanwangi, Wakil Ketua Kompepar Cianjur, Dadan langsung membantahnya.

Baca Juga  Banjir di Campaka, Sungai Meluap, Dua Kolam Jebol, 7 Rumah Terendam

“Awalnya memang Kompepar yang turut mengelola di sana, tapi kalau tidak salah sejak awal 2018 sudah bukan oleh kami, bahkan ketua Kompepar di Desa Tegalega juga sampai mengundurkan diri karena ada gesekan dengan pihak lain di sana,” katanya.  

Diberitakan sebelumnya, Disparpora Cianjur akhirnya buka suara terkait adanya pungutan retribusi Rp5 ribu per orang tanpa tiket atau karcis, di Kampung Wisata Padi Pandanwangi Bunikasih-Tegalega Cianjur. Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Disparpora Cianjur, Enung Sri Hayati mengklaim, pihak yang memungut tarif tanpa tiket di Wisata Pandanwangi bukan Disparpora, namun dari Komite Penggerak Pariwisata (Kompepar).

“Kalau sebelum tahun 2020, memang belum ada pemberlakuan tiket, ada tiket itu mulai awal tahun. Jadi yang sebelumnya ada pemungutan itu bukan dari Disparpora, namun kalau tidak salah itu dari Kompepar. Katanya sih itu uang biaya kebersihan,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Rabu (8/1/2019).

Anehnya, meski Enung mengakui jika terdapat pungutan tarif retribusi tanpa disertai tiket termasuk pungutan liar, namun pihak Disparpora tak mencegah hal tersebut terjadi. Pasalnya, Enung menyebutkan pihak Kompepar yang melakukan pungutan tanpa tiket ada koordinasi ke pihak Disparpora. “Iya, pihak Kompepar ada koordinasi ke kita,” ucapnya.

Pernyataan berbeda saat wartawan menanyakan terkait pencegahan adanya pungli, Enung mengatakan, pihaknya tak bisa melakukan pengawasan karena tak ada petugas Disparpora yang standby di lokasi. “Soal pencegahan itu kita antisipasi menempatkan orang di sana mulai awal tahun. Sebelumnya kan kita lagi membangun, yang jaga cuma pihak kontraktor. Jadi, kalau ada inisiatif dari orang situ melakukan pemungutan, kita gak tahu. Dari kita memang ada pengawasan, tapi tidak standby,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center (CRC), Anton Ramadhan menilai, pernyataan Disparpora janggal. Jika benar pihak yang memungut itu Kompepar dan sebelumnya ada koordinasi kepada Disparpora, itu artinya Disparpora secara tidak langsung membiarkan adanya pungutan liar di Kampung Wisata Padi Pandanwangi.

Baca Juga  Diduga ODGJ, Seorang Pria Ngamuk, Bakar Tiga Rumah, Bacok Warga hingga Tewas

“Awalnya bilang Kompepar koordinasi dulu ke Disparpora untuk memungut di Pandanwangi agar ada biaya kebersihan. Lalu kenapa jadi bilang tidak bisa mengawasi jika terjadi pungli? Aneh. Hal yang terpenting, kita harus pastikan dulu benar atau tidak pihak Kompepar yang memungut tanpa tiket. Itu belum pasti, karena bisa jadi juga pihak dalam,” tegasnya.

Anton menerangkan, jika mengacu terhadap Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Disparpora Cianjur Tahun Anggaran 2018, maka potensi kerugian Negara dengan adanya pungutan liar atau retribusi wisata tanpa tiket di Kampung Wisata Padi Pandanwangi, mencapai ratusan juta rupiah. “Pada laporan Disparpora, kunjungan ke Pandangwangi pada tahun 2018 mencapai 35.360 pengunjung. Jika jumlah tersebut dikalikan tarif Rp5.000, maka jumlah punglinya sebesar Rp176.800.000. Nah ketika ada pengakuan hal tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun (2017 s/d 2019) dan jika dirata-ratakan per tahunnya Rp150 juta, maka kerugian Negaranya mencapai Rp450 juta,” bebernya.

Anton mengatakan, permasalahan dugaan pungutan liar di Kampung Wisata Padi Pandanwangi harus segera diusut tuntas. Pasalnya berpotensi menimbulkan kerugian Negara dengan jumlah yang sangat besar.

Menurutnya, pelaku pungli tidak hanya bisa dijerat dengan pasal KUHP, namun berpotensi juga dijerat dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mengacu kepada Pasal 12 e Undang-Undang Tipikor, sambung Anton, pungli bisa dikatakan sebagai korupsi dengan ancaman hukuman maksimal minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.

“Umumnya, praktik pungli memang dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Jika pelaku merupakan pegawai negeri sipil, akan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun. Namun, ada ketentuan pidana yang ancaman hukumannya lebih besar dari itu, yakni Pasal 12 e UU Tipikor,” pungkasnya.(gie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *